Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sukarno Presiden Seumur Hidup, Soeharto 32 Tahun, Jokowi 3 Periode?

Konstitusi selalu terebuka untuk diamandemen. Tetapi jika amandemen hanya didasari oleh pragmatisme politik, ini akan menjadi catatan buruk bagi kualitas demokrasi pasca reformasi.
Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin langsung upacara apel kehormatan dan renungan suci yang digelar di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta beberapa jam menjelang Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia./Instagram @jokowi
Presiden Joko Widodo atau Jokowi memimpin langsung upacara apel kehormatan dan renungan suci yang digelar di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta beberapa jam menjelang Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia./Instagram @jokowi

Bisnis.com, JAKARTA -- Wacana amandemen konstitusi serta isu jabatan presiden yang belakangan santer terdengar, sebenarnya bukan sesuatu yang baru.

Hampir setiap rezim politik yang berkuasa pernah atau setidaknya mencoba untuk melakukan hal itu. Mereka ingin menafsir konsitusi sesuai dengan kebutuhan politiknya. Urusannya tentu masalah kekuasaan, bagaimana melanggengkan legitimasi politik dengan tameng perubahan konstitusi.

Sedikit menengok ke belakang, lahirnya konstitusi Indonesia tak lepas dari proses pembentukan negara. Sehari setelah proklamasi atau 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan konstitusi dalam bentuk Undang-undang Dasar 1945.

Ada sejumlah poin yang diatur dalam UUD 1945. Namun substansi paling penting dalam konstitusi adalah pendelegasian kewenangan ke dalam tiga kelompok kekuasaan. Pembagian kekuasaan ini mengikuti konsep trias politica ala pemikir politik Prancis, Montesquieu. 

Kekuasaan legislatif tampak dari kehadiran parlemen atau DPR, eksekutif lewat kekuasaan pemerintah dan perangkatnya, serta kekuasaan kehakiman atau yudikatif yang direpresentasikan melalui kehadiran lembaga peradilan.

Kontitusi mengamanatkan tiga kelompok kekuasaan ini untuk mewujudkan dan menjaga negara Indonesia supaya tetap merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Perlu dicatat adil - makmur bukan nama koalisi ya.. frasa itu terdapat di dalam pembukaan UUD 1945.

Sayangnya, pemerintah tak pernah konsisten dalam menerapkan konstitusi. Penyebabnya banyak hal. Pada periode awal pemerintahan Sukarno, ancaman agresi Belanda dan perubahan bentuk negara dari kesatuan, ederal kemudian balik ke negara kesatuan lagi, menjadi pemicunya.

Situasi politik yang dinamis ditambah dengan sikap agresif dari Sekutu (termasuk Belanda) kemudian berimbas tumbangnya demokrasi presidensiil. Hal ini ditandai dengan keluarnya Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945.

Isi maklumat itu tentang pendelegasian kewenangan pertanggungjawaban menteri kepada parlemen bukan lagi kepada presiden. Ini menandakan dimulainya demokrasi parlementer yang bertahan hingga tahun 1959. Dasarnya bukan lagi UUD 1945, tetapi UUD Sementara tahun 1950.

Salah satu ciri khas demokrasi parlementer pada waktu itu adalah pertarungan politik antara kelompok ideologi yakni Islam, Nasionalis, dan Komunis. Ketiga kelompok ideologi ini saling sikut berebut pengaruh. Situasi politik agak sedikit tak stabil. Pemerintahan juga tak efektif karena kabinet datang silih berganti.

Alhasil Sukarno yang sudah terlibat debat panas dengan Badan Konstituante, mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959. Dekrit ini menandai kegagalan Badan Konstituante dalam merumuskan konstitusi baru. Sukarno kemudian membubarkan badan tersebut dan memutuskan kembali ke konstitusi 1945.

Keluarnya dekrit 1959 menandai babak baru dalam sistem demokrasi di Indonesia. Demokrasi presidensiil kembali tegak. Cuma, kali ini penafsirannya agak berbeda. Muncul istilah demokrasi terpimpin. Demokrasi dengan fokus kepemimpinan Soekarno.

Kekuasaan Sukarno makin absolut. Kekuatan oposisi dipreteli. Tokoh-tokoh politik banyak yang dibui. Yang paling mencengangkan adalah keluarnya Ketetapan MPRS No.III/ 1963, isi ketetapan itu adalah mengangkat Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Langkah yang kemudian menuai banyak kontroversi dan menjadi 'dosa politik' bagi Bung Besar.

Beda Sukarno, beda zaman Orde Baru. Orde Baru adalah antitesis dari Orde Lama. Orde ini memunculkan sosok Soeharto, yang menjadi sosok ratu adil di tengah konstelasi politik yang panas dan berdarah.

Pada masa awal pemerintahannya, upaya mendekonstruksi gaya politik Orde Lama mulai kentara. Penafsiran kemballi konstitusi kembali dilakukan. Salah satu tujuan Orde Baru yang cukup dikenal adalah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten.

Soeharto awalnya memberikan kebebasan kepada partai politik. Kecuali PKI yang telah dilarang sejak tahun 1967. Hanya saja, bulan madu dengan Orde Baru hanya sebentar. Tangan besi mulai digunakan oleh Soeharto dan pemerintahan militernya.

Pada dekade Orde Baru mulai melakukan kebijakan depolitisasi. Partai politik digabungkan menjadi tiga kelompok. Obrolan politik menjadi tabu. Konstitusi juga ditafsirkan sesuai dengan kehendak penguasa. Ciri pemerintah yang diterapkan Orde Baru adalah otoriter.

Rakyat, meski punya hak konstitusional untuk memilih partai, tak pernah secara langsung dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan pemerintah. Parlemen hanya bertugas sebagai stempel program pemerintah. Demokrasi ala otoriterianisme Orba kemudian mengantarkan Soeharto sebagai presiden selama 32 tahun.

Rezim otoriter Orde Baru kemudian mendapat antitesis dari gerakan reformasi yang sebenarnya sudah mulai muncul pada awal dekade 1990-an. Motor gerakan ini adalah para mahasiswa. Mereka menumbangkan Soeharto beserta Orde Barunya.

Dwifungsi ABRI dihapus. Proses demokratisasi mulai berjalan. Pada tahun 1999 MPR hasil reformasi terus menggodok amandemen konstitusi. Hasil penting dari amandemen konstitusi itu adalah pembatasan masa jabatan presiden dan penguatan DPR sebagai lembaga legislatif.

Konsep demokrasi presidensiil semakin kuat, pembagian tugas antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif juga semakin jelas. Selain itu pada amandemen keempat konstitusi, pemilihan presiden yang semula dipilih oleh MPR kemudian dipilih langsung oleh rakyat. Pilpres 2004 adalah pertama kali rakyat memilih presidennya secara langsung.

Namun kini, setelah hampir empat kali pilpres berlangsung wacana perubahan konstitusi kembali mengemuka pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Salah satu isu yang beredar luas adalah dorongan untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode.

Isu ini semakin santer ketika konstelasi kekuasaan di parlemen semakin condong ke kekuasaan eksekutif. Meski Presiden Jokowi menyatakan menolak wacana jabatan tiga periode. Dia terkesan hati-hati ketika berbicara soal amandemen konstitusi.

Namun, jika amandemen konstitusi jadi dilakukan, partai penyokong pemerintah yang secara mutlak menguasai kursi parlemen menghendaki perubahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode. Jokowi tentu tak bisa mengelak. Dia harus patuh kepada konstitusi. Kalimat penolakan Jokowi kian tak punya arti.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper