Bisnis.com, JAKARTA - China mulai membatasi dukungannya kepada Rusia pada peperangan Ukraina lantaran harga yang dibayar oleh Presiden Xi Jinping bakal lebih besar jika mengusik Amerika Serikat.
Dilansir Bloomberg pada Rabu (16/3/2022), China mulai terlihat menghindari perseteruan geopolitiknya dengan AS yang dapat merugikan ekonomi domestik.
Peperangan di Ukraina dan kondisi penyebaran Covid-19 di China juga dibarengi dengan pentingnya menjaga stabilitas dalam tahun panas bagi Presiden Xi yang berambisi melanjutkan kepemimpinannya.
Sejumlah faktor itu membuat Xi mengurungkan niatnya untuk terlibat lebih jauh dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Kondisi ekonomi domestik yang tertekan terlihat setelah AS memperingatkan dukungan keuangan dan militer China untuk Rusia. Hal itu meningkatkan kekhawatiran investor bahwa dua ekonomi terbesar dunia itu mungkin tercerai berai.
Indeks bursa saham Hong Kong anjlok 6,6 persen ke level terendah sejak 2008. Sementara Shanghai Composite Index jatuh paling dalam dalam 2 tahun terakhir.
Baca Juga
Adapun ukuran seperti VIX di AS yang biasanya menjadi pengukur rasa takut telah melonjak hingga 78 persen dalam 2 hari.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan kepada mitranya dari Spanyol Jose Manuel Albares bahwa Beijing ingin menghindari kerusakan lebih lanjut dari sanksi yang mengguncang pasar global.
“China bukan pihak yang terlibat langsung dalam krisis, dan tidak ingin terkena sanksi lebih jauh lagi,” kata Wang pada Senin dalam pertemuan Kementerian Luar Negeri.
Pernyataan tersebut sejalan dengan sikap China yang ingin mengurangi eskalasi krisis, meskipun Beijing menyalahkan AS menghasut peperangan Rusia - Ukraina dan mendorong teori konspirasi Rusia tentang laboratorium biologi di Ukraina.
"China akan berupaya untuk mempertahankan strateginya supaya bermitra dengan Federasi Rusia sambil berupaya mengurangi dampak reputasi dan ekonominya," ujar asisten profesor American University Joseph Torigian.
Menurut penulis buku tentang perjuangan Uni Soviet dan China setelah Josef Stalin dan Mao Zedong ini, China juga tidak mengorbankan kepentingan ekonominya sendiri untuk menolong Rusia dalam menghadapi sanksi Barat.
Peperangan di Ukraina telah menambah rintangan bagi Presiden Xi pada tahun ini. Ketua Partai Komunis harus berupaya menegaskan kembali reputasinya sebagai pemimpin terkuat China sejak Mao, di mana dia diperkirakan akan memperpanjang masa jabatannya menjadi 15 tahun.
Sikap tersebut akan memberikan Xi insentif yang kuat untuk mematuhi sanksi yang dipimpin AS, bahkan setelah bertahun-tahun berselisih dengan Washington dan menyatakan kemitraan tanpa batas pada bulan lalu dengan Moskow.
Pertemuan 6 jam antara pejabat AS dan China pada Senin memicu spekulasi terkait dengan panggilan telepon antara Xi dan Presiden AS Joe Biden.
Juru bicara Gedung Putih mengatakan percakapan di Roma antara Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan dan diplomat China Yang Jiechi berlangsung secara substansial, sementara Beijing mengatakan percakapan tersebut konstruktif.
Kepala Ekonom Natixis SA Alicia Garcia Herrero memperingatkan bahwa investor mulai memperlakukan China sama dengan Rusia. Untuk itu, dukungan China kepada Rusia bisa menjadi obat beracun.
"Ketika perusahaan mulai berbicara tentang kemungkinan proyek baru yang mereka mulai di China, mereka sekarang mulai berkata, 'Tunggu sebentar, saya tidak ingin berakhir berinvestasi di autarki seperti Rusia'," ungkapnya.
Pada saat yang sama, invasi Rusia berdampak pada semakin ketatnya pengawasan Rusia kepada Taiwan.
"[Hal itu] yang kemungkinan akan melihat dukungan Barat untuk merusak ambisi China di sana," kata ilmuwan peneliti senior lembaga penelitian CNA yang berbasis di Virginia Elizabeth Wishnick.