Bisnis.com, JAKARTA – Panggung politik Myanmar kembali berguncang setelah pengadilan militer negara itu menjatuhkan hukuman mati terhadap seorang anggota partai Aung San Suu Kyi, karena pelanggaran teror.
Salah satu negara angggota Asean itu memang telah berada dalam kekacauan sejak kudeta militer pada Februari 2021. Dalam peristiwa itu lebih dari 1.400 orang dilaporkan tewas akibat tindakan keras junta militer Myanmar terhadap para demonstran antikudeta.
Keputusan yang dikeluarkan cabang kekuasaan junta militer tersebut dapat berimplikasi luas, karena diperkirakan bisa juga menyasar lingkaran elite partai yang dibesarkan oleh Suu Kyi, yaitu Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Inilah partai politik pemenang pemilu Myanmar pada November 2020 sebelum akhirnya dikudeta oleh pihak militer pada awal tahun lalu. Asa kehidupan demokrasi yang sempat menyeruak di negeri itu akhirnya pupus kembali.
Negara-negara pengusung ‘demokrasi’ gempar ketika militer Myanmar mengambilalih supremasi politik dari tangan sipil. Banyak sudut pandang yang dapat dipakai untuk melihat fenomena tersebut, khususnya yang menyangkut hubungan sipil-militer.
Indonesia pun sempat lama berpolemik soal ini ketika dihadapkan pada dinamika politik yang terjadi pada 1965—1966. Kebanyakan orang berpikir mengenai relasi ini terbatas pada aspek kudeta semata.
Artinya, jika terjadi kudeta maka hubungan sipil-militer di suatu negara berarti buruk. Jika tidak ada kudeta, bisa dianggap baik. Apakah memang demikian sederhana relasi antar keduanya?
Dalam karyanya bertajuk The Soldier and The State, Samuel P. Huntington menegaskan bahwa persoalan di dalam negara-negara modern bukan pemberontakan bersenjata tetapi hubungan antara tentara dan politisi.
Sebuah negara bisa jadi memiliki hubungan sipil-militer yang buruk tanpa adanya ancaman kudeta.
Menurut Michael C. Desch (1999), dalam dunia yang ideal tentu saja tidak akan pernah ada ancaman kudeta. Militer akan selalu berada dalam batas-batas dunianya dan hanya memberikan kontribusi konstruktif bagi diskursus kebijakan nasional.
Dalam relasi yang demikian, menurut dia, tidak banyak terjadi konflik antara sipil dan militer. Sebaliknya tumbuh sikap saling menghormati yang akan menjadi modal penting dalam melahirkan kebijakan nasional yang efektif.
Namun dalam dunia nyata, dasar bagi demokrasi yang maju adalah adanya kontrol sipil. Pakar institusi kemiliteran itu menegaskan bahwa indikator paling baik dalam kondisi kontrol sipil adalah siapa yang lebih dominan ketika terjadi perbedaan pilihan antara pihak sipil dan militer.
Bila pihak yang lebih kuat adalah militer maka ada persoalan. Untuk menentukan apakah militer memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan politik, harus terlebih dulu mengindentifikasi sejumlah isu yang dipertentangkan kedua pihak.
“Dan memperlihatkan siapa yang lebih kuat dalam pertentangan itu,” kata Desch.
Faktanya, militer Myanmar telah merebut kekuasaan atas sipil. Militer negara itu pernah berkuasa begitu lama ketika Ne Win memimpin kudeta pada 2 Maret 1962 dan memerintah hingga 26 tahun sesudahnya.
Pada 1990 penguasa militer mencoba ‘mengendurkan’ cengkeraman politiknya dengan menggelar pemilu. Hasilnya, NLD—dengan kekuatan Suu Kyi di dalamnya—menang mutlak. Partai Persatuan Nasional yang didukung penguasa gigit jari.
Tak sudi terdepak, celah demokrasi ditutup lagi. Militer kembali memegang komando politik praktis. Pupus sudah harapan Robert Dahl (1971).
“Lingkungan yang paling menguntungkan bagi persaingan politik akan terwujud apabila akses menuju ke kekerasan terhadap oposisi dan pemerintahan ditiadakan atau dicegah.”