Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waspada! Investasi Bodong di Pekanbaru Sasar Orang Awam

Saksi ahli hukum pidana perbankan yang juga akademisi Universitas Padjajaran, Dr. Jonker Sihombing menilai investasi bodong di Pekanbaru menyadar orang awam atau minim literasi keuangan.
Ilustrasi tindakan penipuan atau investasi bodong/123rf
Ilustrasi tindakan penipuan atau investasi bodong/123rf

Bisnis.com, PEKANBARU-- Kasus investasi bodong yang menimpa warga Pekanbaru dengan kerugian Rp84,9 miliar dan saat ini masih bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru. 

Saksi ahli hukum pidana perbankan yang juga akademisi Universitas Padjajaran, Dr. Jonker Sihombing menilai para terdakwa yaitu pimpinan Fikasa Group terdiri dari Agung Salim, Bakti Salim, Cristian Salim, Elly Salim dan Maryani menyasar orang awam dan juga masyarakat yang literasi keuangannya masih rendah.

"Saya melihat para korban yang menyimpan dananya ini orang awam dan sebenarnya digolongkan dalam masyarakat dengan literasi keuangah masih rendah, dan apa yang dilakukan Fikasa Group ini mengakali orang-orang dengan membuat medium term notes dan promissory notes seakan-akan sama dengan simpanan ke bank dalam bentuk deposito," ujarnya Selasa (25/1/2022).

Menurutnya Fikasa Group menerbitkan promissory notes dan medium term notes, dengan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) sebagai surat sanggup atau promes.

Namun, dari barang bukti yang ditunjukkan di persidangan kepadanya, mulai dari surat perjanjian dan warkatnya ada dua barang bukti, dia menilai redaksional surat perjanjian dan warkat ini seperti ijazah atau sertifikat deposito perbankan, sehingga tidak memenuhi pasal 174 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

Karena itu, walaupun Fikasa Group menyatakan barang bukti ini promes, tapi pada kenyataannya memenuhi ketentuan promes atau surat sanggup yang ada di pasal 174 KUHD, disebabkan di dalamnya tidak ada redaksional secara terang benderang kesanggupan membayar tanpa syarat.

"Dijelaskan di pasal 174 KUHD itu tidak boleh dimaknai dan dikurangi persyaratannya. Kalau itu tidak dipenuhi maka tidak bisa dianggap promes atau surat sanggup sesuai KUHD," ujarnya.

Dia melanjutkan karena produk Fikasa Group ini tidak memenuhi KUHD, tapi perusahaan tetap mencoba menghimpun dana masyarakat tapi juga diketahui perusahaan tidak memenuhi pasal 16 UU No.10/1998 tentang Perbankan. Dimana setiap penghimpunan dana masyarakat wajib mendapatkan izin Bank Indonesia, kecuali yang memiliki Undang-undang tersendiri seperti UU Dana Pensiun, UU Asuransi, dan UU Pos dan Giro.

Kelima terdakwa disebutkan telah menghimpun dana dari para korban sebanyak 10 orang. Modusnya, dengan menawarkan produk investasi 'Promissory Notes' atau produk yang mirip seperti deposito. Terdakwa menjanjikan korban akan mendapatkan bunga tinggi sebesar 9-12 persen pertahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan bunga bank, yang sebesar 5 persen. 

Untuk menghimpun dana dari mayarakat dengan sistem berjangka ini, PT Fikasa Group menggunakan beberapa anak perusahaan yakni PT Tiara Global dan PT Wahana Bersama Nusantara. Perusahaan itu bergerak di bidang properti, air minum, dan perhotelan. 

Di wilayah Pekanbaru, para terdakwa mulai menghimpun dana dengan produk Promissory Notes (surat utang) sejak 2016 lalu. Namun sejak 2020 tidak ada pembayaran keuntungan alias macet. Para nasabah di Pekanbaru berusaha meminta pertanggungjawaban Fikasa Group, tapi tidak ada kejelasan termasuk permintaan pengembalian modal nasabah.

Saat ini di Pekanbaru ada sebanyak 10 nasabah yang tertipu dengan total kerugian Rp84,9 miliar. Belakangan para nasabah melaporkan kasus ini ke Mabes Polri. 

Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Riau menyatakan saat ini literasi keuangan di daerah itu masih rendah, sehingga banyak masyarakat yang rentan menjadi korban investasi bodong dan pinjol ilegal. 

Kepala OJK Riau Muhammad Lutfi mengatakan bila merujuk data survei OJK 2019 lalu, tingkat literasi keuangan masyarakat Provinsi Riau masih relatif sangat rendah yaitu sebesar 43,19 persen, sedangkan tingkat inklusi keuangan atau penggunaan produk jasa keuangan kini sudah mencapai 86,39 persen. 

"Dari kondisi ini menggambarkan banyak masyarakat di Provinsi Riau yang menggunakan produk jasa keuangan namun belum seluruhnya memahami manfaat dan risiko dari produk keuangan yang digunakan. Sehingga tidak heran banyak masyarakat yang masih terjebak pinjaman online ilegal dan penawaran investasi bodong atau investasi ilegal," ujarnya.

Karena itu, pihaknya mengimbau masyarakat Riau untuk waspada terhadap penawaran investasi bodong dan pinjaman online ilegal. Misalnya penawaran investasi yang menjanjikan imbal hasil yang tidak wajar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper