Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lagi-lagi Batu Bara

Penolakan terhadap penghentian sementara ekspor batu bara mengindikasikan adanya masalah yang cukup pelik dalam tata niaga dan bisnis batu bara.
Pekerja melintas di dekat kapal tongkang pengangkut batubara di kawasan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1/2022). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Pekerja melintas di dekat kapal tongkang pengangkut batubara di kawasan Dermaga Batu bara Kertapati milik PT Bukit Asam Tbk di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (4/1/2022). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Bisnis.com, JAKARTA -- Kisah batu bara selalu menjadi sorotan. Kali ini, batu bara menjadi buah bibir masyarakat menyusul munculnya kebijakan pemerintah yang melarang ekspor komoditas alam tersebut untuk periode Januari 2022.

Keputusan pemerintah untuk menyetop ekspor batu bara pada 1–31 Januari 2022 konon ditempuh guna menjamin pasokan komoditas tersebut untuk pembangkit listrik dalam negeri. 

Pemerintah agaknya ngeri, kelangkaan batu bara bisa berimbas kepada lebih dari 10 juta pelanggan PT PLN (Persero), mulai dari masyarakat umum hingga industri di Jawa, Madura, Bali (Jamali), dan non-Jamali. Kalau itu terjadi, krisis energi dan anjloknya kinerja ekonomi bisa menerpa kapan saja.

Namun, belum sempat diterapkan secara optimal, implementasi kebijakan itu rupanya memantik banyak reaksi. Reaksi yang cukup keras datang dari DPR, pengusaha, bahkan kerabat dari pejabat di pemerintahan. 

Kamar Dagang dan Industri (Kadin), yang ketua umumnya saat ini adalah salah satu bos perusahaan tambang batu bara, misalnya, sempat berteriak cukup kencang terkait rencana itu.

Ketum Kadin Arsjad Rasjid, bahkan meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan pelarangan ekspor sementara tersebut. Arsjad menjadikan pemulihan ekonomi sebagai tameng untuk 'membujuk' pemerintah supaya mengurungkan niatnya untuk menghentikan sementara ekspor batu bara.

"Kebijakan pemerintah yang berdampak pada dunia usaha dan perekonomian nasional ini harus dibicarakan dengan pengusaha," demikian kata Arsjad dalam siaran resminya.

Pernyataan Arsjad tersebut jelas merepresentasikan kepentingan pengusaha batu bara. Sebab, ekspor merupakan ladang cuan pengusaha tambang batu bara. Artinya jika pasar ekspor disetop, kinerja perusahaan tambang akan terhambat dan berimbas ke aliran cuan pengusaha.

Meski di balik derasnya keuntungan dari bisnis tambang emas hitam, terselip fakta yang memilukan. Kepatuhan perusahaan batu bara untuk mengikuti kebijakan pemerintah terkait pemenuhan pasar dalam negeri.

Dalam catatan Bisnis, tata kelola pemenuhan aturan domestic market obligation atau DMO batu bara oleh perusahaan tambang tak berjalan dengan baik. Pasalnya, hanya 85 perusahaan saja yang memenuhi DMO 100 persen, sedangkan 489 perusahaan memenuhi pasokan domestik di bawah 15 persen.

Hal inilah yang membuat pemerintah geram. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan menegaskan perusahaan tambang wajib DMO, jika tidak dia tak segan untuk mencabut izin ekspor perusahaan batu bara.

"Bila perlu bukan cuma tidak mendapatkan izin ekspor, tapi juga pencabutan izin usahanya," tegas presiden.

Sikap tegas pemerintah itu juga bisa jadi dipicu oleh gelagat yang tidak baik dalam praktik niaga batu bara. Apalagi kalau ditelusuri, hampir sebagian besar perusahaan besar batu bara memiliki perwakilan atau perusahaan penjualan di negara-negara dengan tarif pajak yang lebih rendah, salah satunya Singapura.

Dalam penelusuran Bisnis beberapa waktu lalu, peran perusahaan atau anak usaha perusahaan batu bara di negeri-negeri ini cukup penting. Salah satunya adalah untuk menghindari tarif atau pungutan pajak yang lebih tinggi dari otoritas pajak Indonesia.

Dua Anak Usaha TBS

Sejatinya, kewajiban pemenuhan DMO pernah menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan melalui Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Atas Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) & Perizinan Minerba Tahun Anggaran 2016 – 2018.

Salah satu temuan pada tahun 2020 lalu yakni dua anak usaha PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA) yakni PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) & PT Trisensa Mineral Utama (TMU). Dua perusahaan ini tidak memenuhi kuota  penjualan batubara untuk pemenuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).

Dikutip dari audit tersebut, dua perusahaan tersebut belum memenuhi kuota yang sudah ditentukan. Pada tahun 2018 misalnya, kewajiban DMO PT ABN sebesar 942.941 metrik ton, namun yang telah terealisasi sebesar 154.600,31 metrik ton atau 16,40 persen. Sehingga terdapat kekurangan sebesar 788.340,69 metrik ton.

Sedangkan kewajiban DMO PT TMU Tahun 2016 - 2018 yang seharusnya mencapai 246.418 metrik ton, sampai dengan pemeriksaan berakhir, belum direalisasikan oleh PT TMU. 

"Hal ini terjadi karena mayoritas penjualan batubara PT ABN dan PT TMU adalah dalam bentuk ekspor. PT ABN dan PT TMU juga tidak melaksanakan transfer kuota sebagai upaya dalambl pemenuhan kewajiban DMO," tulis LHP BPK yang dikutip Bisnis.

BATU BARA
BATU BARA

(Ilustrasi Batu Bara/Antara)

Dokumen LHP BPK tersebut secara spesifik menyebutkan PT ABN beroperasi berdasarkan Keputusan (SK) Bupati Kutai Kertanegara Nomor 540/1691/IUP-OP/MB-PBAT/XII/2009 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi tanggal 1 Desember 2009.

SK tersebut menyebutkan bahwa PT ABN diberikan persetujuan untuk melakukan penambangan batubara di wilayah Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi KalimantanTimur seluas 2.990 hektare.

Sementara itu, PT TMU telah memiliki SK IUP operasi produksi yang dikeluarkan oleh Bupati Kutai Kartanegara Nomor 540/0602/IUP OP/MBPBAT/III/2010 tanggal 23 Maret 2010 dengan wilayah pertambangan terletak di Kecamatan Loa Janan, Kecamatan Muara Jawa, Kecamatan Sanga-Sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, seluas 3.414 hektare.

Dua dokumen terkait lokasi & luas areal tambang di atas juga terkonfirmasi saat dicocokan dalam profil perusahaan di laman resmi Toba Bara yakni tobabara.com.

Adapun, jika menilik Laporan Tahunan Toba Bara Sejahtera (TBS) tahun 2018, kepemilikan saham TBS atas PT ABN mencapai 51 persen. Total aset PT ABN senilai US$129,1 juta. Sedangkan untuk PT TMU, TBS memiliki saham sebesar 99 persen, nilai asetnya senilai US$39,5 juta.

Sekretaris Perusahaan TOBA Pingkan Ratna Melati, waktu itu, mengungkapkan bahwa surat dari Kementrian ESDM telah diterima sejak akhir 2019 lalu.

"Terkait dengan hasil pemeriksaan BPK terhadap anak usaha TOBA, yaitu PT Adimitra Baratama Nusantara (ABN) dan PT Trisensa Mineral Utama (TMU), pada akhir tahun 2019 masing-masing anak usaha TOBA tersebut telah menerima surat pemberitahuan," kata Pingkan kepada Bisnis.com, Kamis (14/5/2020).

Kendati demikian, Pingkan tak menjawab saat dikonfirmasi mengenai tindak lanjut atas temuan terkait kewajiban atas penjualan batubara untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri atau DMO.

"Sesuai tanggapan di atas, sesuai surat yang kami terima dari ESDM, hasil pemeriksaan BPK terkait ABN TMU tidak ada kaitannya dengan DMO," tukasnya.

Pingkan juga belum menanggapi pertanyaan Bisnis mengenai tindak lanjut temuan BPK dalam pesan tertulis yang disampaikan pada hari ini, Rabu (5/2/2021).

Kurang Bayar PNBP

Sementara BPK juga menemukan adanya 10 perusahaan yang kurang membayar PNBP. Kesepuluh perusahaan tersebut tercatat terafiliasi dengan sejumlah grup usaha milik konglomerat.

Adapun total kurang PNBP dari 10 perusahaan itu mencapai US$34,7 juta dan Rp205,3 miliar. Temuan kurang bayar PNBP itu menjadi sorotan utama dalam audit Atas Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) SDA & Perizinan Minerba Tahun Anggaran 2019.

batu bara
batu bara

(Sumber:BPK)

Dalam laporan yang diterbitkan oleh BPK pada pertengahan tahun 2021 lalu itu, rincian kurang bayar PNBP itu bisa dibagi dalam tiba pokok temuan. Pertama, iuran tetap dari tiga perusahaan kurang sebesar US$20.659,8 dan Rp534,5 juta.

Kedua, dari 10 perusahaan yang disampel terjadi kekurangan penerimaan royalti sebesar US$11,7 juta dan Rp55,5 milia yang terdiri dari kekurangan penerimaan pada tujuh perusahaan sebesar US$13,7 juta dan Rp74,3 miliar, serta terjadi kelebihan penerimaan 3 perusahaan sebesar USD2,057,262.01 dan Rp18.798.048.979,23.

Ketiga, dari 10 perusahaan yang disampel terjadi kekurangan penerimaan penjualan hasil tambang atau PHT pada 6 perusahaan sebesar US$23 juta dan Rp149,3 miliar yang terdiri dari kekurangan penerimaan PHT sebesar US$24,9 dan Rp156,8 miliar namun juga terjadi kelebihan penerimaan PHT sebesar US$1,8 juta dan Rp7,4 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper