4.500 Aduan Kekerasan
Pembela HAM yang berasal dari kelompok perempuan juga menjadi sorotan sepanjang tahun ini.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, berdasarkan hasil pantauan pihaknya banyak kasus pelanggaran HAM, khususnya kekerasan terhadap perempuan yang seolah hilang dari mata publik, karena perhatian dari penyelenggara negara fokus pada penyelesaian pandemi.
Meskipun, lanjutnya, beberapa hari terakhir banyak pengungkapan kasus-kasus kekerasan seksual yang menjadi keprihatinan bersama.
Sepanjang tahun 2021, laporan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sangat tinggi, seperti kasus penyiksaan seksual yang dilakukan aparat terhadap tahanan perempuan, serta perbudakan seksual yang dibalut dalam institusi pendidikan.
Sejak Januari sampai Oktober, terdapat 4.500 kasus diadukan kepada Komnas Perempuan. Hal ini mengalami kenaikan hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Tingginya angka laporan, lanjut Andy, menjadi hal positif karena masyarakat memiliki kesadaran untuk melapor. Di sisi lain, kapasitas untuk menangani laporan-laporan ini tidak sebanding dengan cepatnya pengaduan kasus.
Akibatnya, banyak korban yang justru terlambat ditangani oleh penegak hukum.
"Ada anomali-anomali terkait upaya untuk perbaikan sistem. Tetapi di lapangan, sangat jelas bahwa kapasitas untuk penanganan terhadap korban, khususnya korban kekerasan seksual tidak sebanding dengan laju pelaporan kasus yang ada," kata Andy.
Selama 5 tahun terakhir, sekitar 15 kasus kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM dilaporkan ke Komnas Perempuan. Padahal, proses pembelaan HAM harus diteguhkan, mengingat dalam konstitusi ada hak yang dijamin untuk melakukan pembelaan terhadap hak, serta sejumlah konvensi internasional yang telah diratifikasi.
Untuk itu, lanjut Andy, diperlukan payung hukum yang spesifik melindungi para pembela HAM. Tanpa payung hukum ini, kriminalisasi, intimidasi, maupun pengabaian
Era Purnama Sari, Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memaparkan, bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM mengalami tren peningkatan pada tahun 2021. Beberapa aksi turun ke jalan berimplikasi pada menguatnya kasus-kasus kekerasan dan penangkapan aktivis pembela HAM.
Konflik sumber daya alam, penanganan pandemi Covid-19, dan isu-isu pelanggaran HAM di Papua menjadi isu yang berkorelasi kuat dengan munculnya serangan terhadap pembela HAM dan penyempitan ruang berekspresi.
Terkait kriminalisasi terhadap masyarakat yang melindungi ruang hidupnya dalam konflik agraria, menurut Era, hal ini terjadi secara struktural dan sistematis. Contohnya, Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2019 tentang Bantuan Pengamanan untuk Objek Vital Nasional, membuat aparat kepolisian memiliki legalitas untuk melakukan praktik kriminalisasi.
Era menegaskan, presiden memiliki kewenangan untuk mengubah mekanisme yang dapat menjamin pengungkapan kasus pelanggaran HAM dan ruang aman bagi masyarakat sipil yang membela HAM. Hal ini akan menjadi syarat bahwa pemerintah memiliki itikad baik dalam penegakan HAM di Indonesia.