Bisnis.com, JAKARTA - Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR RI untuk memperbaiki terlebih dahulu Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sesuai amanat Mahkamah Konstitusi (MK), bukan justru menerapkannya.
Hal tersebut merespons Jokowi yang menyebut seluruh UU Ciptaker masih tetap berlaku.
“Pernyataan MK bahwa UUCK (UU Ciptaker) masih tetap berlaku harus ditempatkan pada konteks keabsahan atau daya laku (validity) suatu undang-undang, bukan pada daya ikatnya (efficacy), sebab MK sudah menyatakan pada amar 3 bahwa UUCK tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga UUCK tidak dapat dilaksanakan,” demikian tulis FH UGM dalam keterangan resminya, Senin (20/12/2021).
Dikatakan, amar 7 putusan MK menyatakan agar pemerintah menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciptaker.
“Artinya hampir tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan UUCK, sebab ruang lingkup UUCK seluruhnya ialah mengatur hal yang bersifat strategis (Pasal 4 UUCK),” lanjutnya.
FH UGM menilai, dengan dinyatakan bahwa UU Ciptaker tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh MK (sampai dengan dilakukan perbaikan), maka seluruh peraturan pelaksanaanya, termasuk peraturan lain yang terkait dengan UU Ciptaker, tidak memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan sebagai dasar menyelesaikan permasalahan di dalam masyarakat.
Baca Juga
Hal ini, lanjutnya, sejalan dengan konsep rantai keabsahan peraturan (the chain of validity), bahwa keberlakuan suatu peraturan harus didasarkan pada peraturan di atasnya yang masih memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Dalam kondisi ini, bila pemerintah memaksakan menerapkan UUCK dan peraturan pelaksananya, maka akan rentan menjadi objek gugatan, menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebaiknya UUCK harus dicabut,” tulis FH UGM.
FH UGM pun mendesak DPR bersama Presiden Jokowi untuk segera melakukan perubahan terhadap UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
FH UGM memberi catatan substansi perubahan UU PPP, paling tidak memperhatikan dengan serius dua hal berikut: pertama, memasukkan pengaturan mengenai metode omnibus law secara kluster. Dengan demikian, materi yang dilakukan perubahan ialah materi dari berbagai undang-undang dengan satu klaster tematik. Tidak seperti UUCK yang multi-klaster.
Kedua, memasukkan asas partisipasi publik sebagai semangat utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Norma-norma mengenai partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) harus disusun agar aspirasi masyarakat didengar dan dipertimbangkan sebaik-baiknya dalam setiap tahapan pembentukan undangundang mulai dari pengajuan, pembahasan sampai dengan persetujuan,” pungkas FH UGM.