Bisnis.com, JAKARTA--DPR mendukung penuh upaya PT PLN yang menargetkan 51 persen listrik berasal dari pembangkit baru Energi Baru Terbarukan (EBT) sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021.
Anggota Komisi VII DPR, Dyah Roro Esti menyebut bahwa pihaknya sudah siap mendukung penuh PT PLN. Menurutnya, komitmen besar PT PLN itu juga harus segera direalisasikan.
Namun, menurut Roro, rencana besar tersebut harus dilakukan melalui transisi dan tidak bisa dilakukan sekaligus.
“Perubahan dibutuhkan political will, kemauan dari policy maker. Kami juga sudah merancang paling optimal harus seperti apa dan sepakat mendorong energi transisi di Indonesia,” tutur Roro dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (8/12).
Dia mengatakan bahwa pihaknya akan mendorong RUU Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di DPR. Pasalnya, menurut Roro, RUU itu dapat mengurangi emisi karbon di Indonesia.
"Ini akan kami dorong terus. Harus bersatu lintas fraksi, tak lagi lihat warna, tapi bagaimana bisa gotong royong untuk realisasi kebijakan untuk bangsa Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Executive Vice President PT PLN, Edwin Nugraha Putra mengatakan PT PLN tengah menargetkan pasokan listrik sebesar 40,6 gigawatt dari EBT tersebut selama 10 tahun ke depan.
“Pembangkit fosil masih masuk di 10 tahun ke depan, nanti dari 2031-2060 ada 1.300 TWh itu disuplai EBT. Diperlukan kapasitas 230 Gigawatt pembangkit baru,” ujarnya.
Edwin pun mengatakan, bahwa pihaknya optimis pada 2060 mendatang Net Zero Emmition (NZE) akan terwujud. Edwin juga mengemukakan bahwa hal itu membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk Pemerintah, DPR RI dan juga pemangku kebijakan lainnya.
“Insya Allah 2060 terjadi carbon determinate. Kamu ganti kebutuhan PLTU jadi EBT. Tentu harga harus mendekati harga keekonomian, jangan sampai meninggikan harga listrik di masyarakat,” tuturnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Pengurus DPP Pandawa Nusantara, Mamit Setiawan. Menurut Mamit, dukungan semua pihak itu bisa dituangkan pada pembahasan RUU EBTKE yang kini tengah bergulir di DPR RI.
Salah satunya, menurut Mamit, di dalam RUU itu juga harus dituangkan kemudahan untuk perizinan berinvestasi di sektor EBT.
“Kalau bisa di UU EBT ada lembaga sendiri yang mengatur regulasi terkait EBT. Perlu regulator lain selain Kementerian ESDM yang memang mengatur keberlanjutan di sektor EBT,” katanya.
Menurutnya, proses transisi tersebut tidak boleh menjadi beban negara melalui APBN dan beban masyarakat.
“Karena dengan adanya UU EBT ini maka kepastian hukum ada, investasi tumbuh. Tidak mungkin PLN, Pertamina jalan sendiri tanpa investasi, karena biaya yang dibutuhkan sangat besar. dengan adanya UU EBT, maka investasi, nilai beli bisa terangkum di sana,” katanya.