Bisnis.com, SOLO - Kasus kekerasan seksual yang diduga menjadi penyebab Novia Widyasari Rahayu bunuh diri menjadi perhatian berbagai pihak. Kasus tersebut juga menambah daftar panjang kekerasan seksual di Indonesia.
Ketua Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Ny Hj Badriyah Fayumi menilai kasus kekerasan seksual di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.
Sementara negara sendiri dinilai lamban dan tak ada keseriusan untuk mengantisipasi maraknya kasus tersebut.
Hal itu dibuktikan dengan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang tak kunjung disahkan oleh DPR.
“Penundaan ini menunjukkan kekurangseriusan DPR mencari solusi jalan tengah atas terwujudnya RUU yang secara khusus menjadi payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang menjamin korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan, perlindungan hukum, dan pemulihan,” katanya dikutip dari NU.or.id belum lama ini.
Baca Juga
Menurutnya, dukungan dari berbagai stakeholder, tim ahli hingga masyarakat sipil untuk segera mengesahkan payung hukum tersebut seharusnya dapat menjadi pelecut untuk segera disahkannya RUU TPKS.
“Idealnya kan begitu. DPR segera bersepakat menghadirkan RUU yang spesifik dan komprehensif tentang kekerasan seksual, sekaligus memastikan tidak terjadinya hal-hal yang dikhawatirkan para penolak,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadist Kota Bekasi, Jawa Barat.
Ia menyayangkan sikap alot DPR, pasalnya perlindungan hukum dan upaya penanganan terhadap kasus kekerasan seksual masih kurang maksimal. Hal itu akan berakibat menambah jumlah korban.
“Kekosongan payung hukum itulah yang juga menjadi alasan banyak korban enggan melaporkan kasus-kasus kejahatan kekerasan seksual yang dialaminya. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada jumlah data yang kurang akurat terkait kasus-kasus kekerasan seksual sehingga semakin sulit untuk ditindaklanjuti,” terang
Soal perbedaan pendapat, lanjut dia, seharusnya segera dicarikan titik temu dan bukan menjadi penghambat pembahasan RUU tersebut.
“Dicari jalan tengahnya, karena kalau tidak begitu penundaan ini semakin menunjukkan lemahnya komitmen DPR dalam legislasi yang pro perempuan dan korban (laki-laki dan perempuan),” jelas dia.