Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengajak pelaku usaha untuk membawa masalah kepada BRIN untuk dijadikan bahan riset.
Menurutnya, aktivitas riset merupakan kegiatan yang menyedot banyak biaya, sehingga pemerintah harus hadir.
“BRIN hadir dalam konteks membantu semua pihak termausk kementerian/lembaga dan pelaku usaha untuk masuk ke aktivitas riset dengan investasi yang semininmal mungkin,” ujar Laksana dalam acara Indonesia Electric Motor Show (IEMS) 2021 secara hybrid yang diikuti Bisnis di Jakarta, Rabu (24/11/2021).
“Karena riset itu mahal, high cost pastinya. Teman-teman saya yang S3 itu tidak mau dibayar murah kalau disuruh kerja,” sambungnya.
Meski berbiaya besar, hasil riset belum tentu berhasil. Hal itu sesuatu yang lumrah dalam aktivitas riset.
“Jadi, saya ingin mengajak pelaku usaha, baik UMKM ataupun pelaku usaha besar, siapapun jika ada problem bawa problemnnya. Jadi tolong dibawakan problem lah dari Kemenko Marves, ESDM, Kemenperin atau dari pelaku usaha,” ungkapnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, Laksana mengatakan siapapun yang melakukan kegiatan riset secara kolaboratif dengan pihaknya tidak akan dikenakan biaya.
“Jadi secara prinsp jika dilakukan secara kolaboratif saya sediakan free of charge, termasuk SDM-nya, termasuk infrastruktur laboratorium,” kata dia.
“Tapi, kalau berhasil saya minta sharing property rightnya. Kita lisensi kembali. Lisensinya minimal 60 persen akan dikembalikan ke negara, yang 40 persen saya serahkan ke inventornya, ke bapak/ibu periset saya,” tambahnya.
Menurut Laksana, kegiatan riset rata-rata kemungkinan keberhasilannya hanya 20 persen. Bahkan, untuk riset jenis obat-obatan dan vaksin kemungkinan keberhasilannya hanya 10 persen.
“Makanya jika obat saya minta bisa sampai 90 persen royaltinya, inventornya 20 persen,” tutur dia.