Target 2030
Tujuan dari Perjanjian Paris adalah untuk membatasi kenaikan suhu global hingga jauh di bawah dua derajat Celcius pada abad ini. Selain itu, perjanjian itu bertujuan untuk mengejar upaya untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celcius.
Dampak bencana akan bisa dihindari dengan mejaga titik batas tersebut seperti kenaikan permukaan laut dan bencana alam yang lebih intens. Akan tetapi, proyeksi baru dari Climate Action Tracker (CAT) menunjukkan meskipun semua janji COP26 terpenuhi, planet ini berada di jalur untuk memanas hingga 2,1 derajat Celcius atau 2,4 derajat Celcius sebagaimana target 2030.
Terlepas dari pengumuman soal kebijakan iklim baru-baru ini dari Pemerintah Australia, target pada tahun 2030 tetap sama seperti pada tahun 2015. Jika semua negara mengadopsi target jangka pendek yang sangat kecil tersebu,t maka kenaikan suhu global akan berada di jalur yang mengarah pada angka tiga derajat Celcius.
Secara teknis, batas 1,5 derajat Celcius masih dalam jangkauan karena berdasarkan Kesepakatan Glasgow, negara-negara diminta untuk memperbarui target 2030 mereka dalam waktu satu tahun. Namun, seperti yang dikatakan Sharma, "denyut nadi 1,5 derajat Celcius lemah".
Seperti yang ditunjukkan oleh pengalaman Australia, politik domestik sering kali menjadi kekuatan pendorong kebijakan iklim daripada tekanan internasional. Jadi, tidak ada jaminan Australia atau negara lain akan memberikan ambisi yang lebih besar pada 2022.
Intervensi India untuk mengubah kata-kata terakhir menjadi batu bara akan “dikurangi secara bertahap” ketimbang untuk beralih dari batu bara menjadi sorotan.
India adalah penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, setelah China dan Amerika Serikat (AS). Negara itu sangat bergantung pada batu bara. Sedangkan pembangkit listrik tenaga batu bara diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,6 persen setiap tahun hingga 2024.
India adalah penentang paling menonjol terhadap kata-kata "penghilangan bertahap", tetapi juga mendapat dukungan dari China.
Utusan Amerika Serikat (AS), John Kerry berpendapat bahwa teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menjebak emisi pada sumbernya dan menyimpannya di bawah tanah.
Penangkapan dan penyimpanan karbon adalah wacana kontroversial untuk aksi iklim. Dalam skala besar hal itu tidak terbukti dan belum diketahui apakah emisi yang ditangkap yang disimpan di bawah tanah pada akhirnya akan kembali ke atmosfer, ujar Brendan Mackey, Direktur Program Respons Perubahan Iklim dari Griffith University.
Di seluruh dunia, lokasi penyimpanan bawah tanah berskala besar relatif sedikit. Selain itu sulit untuk melihat teknologi mahal ini menjadi kompetitif dari sisi biaya dibandingkan energi terbarukan yang murah, ujarnya.
Dalam satu prestasi penting, COP26 juga telah menuntaskan aturan untuk perdagangan karbon global yang dikenal sebagai Pasal 6 dalam Perjanjian Paris.
Berdasarkan aturan, industri bahan bakar fosil akan diizinkan untuk “mengimbangi” emisi karbon yang terus menimbulkan polusi. Kombinasi dengan perubahan "penurunan bertahap", maka hal itu akan membuat emisi bahan bakar fosil terus berlanjut, ujar Mackey.