Bisnis.com, JAKARTA — Konferensi Tingkat Tinggi Confences of Parties (KTT COP26) yang diikuti 120 negara, termasuk Indonesia, akan dimulai besok di Glasgow, Skotlandia.
Konferensi mengenai perubahan iklim global pada 1-2 November tersebut akan dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin delegasi Indonesia telah berangkat Jumat lalu dengan agenda akan terus menurunkan tingkat gas buang (emisi) sebagai solusi atas krisis perubahan iklim.
Terkait pertemuan itu, agaknya menarik untuk melihat bagimana dua pemain raksasa dunia yang sangat memengaruhi perubahan iklim global dari dulu hingga saat ini, yakni China dan Amerika Serikat. Maklum, kedua negara industri itu adalah dua besar penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia.
Sementara, Indonesia (1,8 metrik ton) berada di posisi kelima sebagai negara dengan gas buang terbanyak di dunia atau di bawah Uni Eropa (3,3 miliar metrik ton) dan India (3,4 miliar metrik ton). Artinya, setiap upaya untuk mengatasi krisis iklim perlu melibatkan pengurangan emisi gas yang tajam dari kedua negara pembangkit tenaga listrik itu.
Emisi China (14,1 miliar metrik ton) lebih dari dua kali lipat emisi AS (5,7 miliar metrik ton), tetapi secara historis, AS mengeluarkan emisi lebih banyak daripada negara lain mana pun di dunia.
Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan saat menilai kontribusi gas buang atas iklim dari suatu negara. Karena itu, saat para pemimpin berkumpul untuk pertemuan COP26, program yang dicanangkan AS dan China akan menjadi sorotan.
Pada 2006, China menyalip AS sebagai penghasil karbon dioksida (CO2) terbesar di dunia. Pada tahun itu gas rumah kaca paling melimpah di atmosfer.
Lalu pada 2019, tahun terakhir sebelum pandemi melanda, emisi gas rumah kaca China hampir 2,5 kali lipat dari AS. Angka itu lebih dari gabungan semua negara maju di dunia, menurut analisis dari Rhodium Group sebagaimana dikutip oleh CNN.com, Sabtu (29/10/2021).
Dalam hal kesetaraan dengan CO2 yang merupakan cara mengukur semua gas rumah kaca seolah-olah mereka adalah CO2, China mengeluarkan 14,1 miliar metrik ton pada 2019. Angka itu lebih dari seperempat total emisi dunia.
Di sisi lain, AS bertanggung jawab atas 5,7 miliar metrik ton atau 11 persen dari total emisi, diikuti oleh India (6,6 persen) dan Uni Eropa (6,4 persen).
Ketika para ilmuwan mengukur emisi gas rumah kaca, mereka melihat total emisi yang dipompa suatu negara ke udara di wilayah negara mereka sendiri setiap tahun. Emisi tersebut berasal dari apa pun yang berasal dari bahan bakar fosil, termasuk dari mobil yang menggunakan bensin, dan pesawat terbang.
Begitu juga untuk keperluan pemanasan dan menerangi bangunan dengan daya yang dihasilkan dari batu bara, gas alam, atau minyak, serta dari industri pembangkit tenaga listrik. Sumber-sumber lain, seperti emisi dari deforestasi, juga disertakan.
Ilustrasi - Polisi mengatur lalu lintas di bawah kabut tebal di seberang Kota Terlarang, Beijing/Antara-M. Irfan Ilmie
AS adalah penghasil emisi terbesar
Meski China adalah penghasil emisi terbesar di dunia saat ini, tetapi AS memimpin setiap negara hingga saat ini. Secara kumulatif, AS telah mengeluarkan CO2 hampir dua kali lipat dari China sejak 1850. Artinya tidak ada negara di dunia yang memasukkan lebih banyak gas rumah kaca ke atmosfer selain Amerika Serikat.
Kalau China sejauh ini disebut merupakan penghasil emisi terbesar, faktanya tidak selalu demikian. Hal itu perlu mendapat perhatian karena emisi yang dikeluarkan, bahkan ratusan tahun yang lalu, telah berkontribusi pada pemanasan global saat ini.
Dunia telah menghangat sebesar 1,2 derajat Celcius sejak dimulainya Revolusi Industri. Para ilmuwan mengatakan bahwa kita perlu mempertahankannya hingga batasan 1,5 derajat untuk mencegah dampak krisis iklim yang semakin memburuk.
Emisi CO2 China mulai meningkat pada 2000-an saat industri negara berkembang pesat. Negara-negara maju seperti AS, Inggris, dan banyak negara di Eropa, telah melakukan industrialisasi dan dalam prosesnya mengeluarkan gas yang mengubah iklim selama sekitar 200 tahun. Banyak kenyamanan hidup di negara maju telah mengorbankan iklim.
Sejak 1850, China telah mengeluarkan 284 miliar ton CO2, menurut analisis baru oleh Carbon Brief, organisasi berbasis di Inggris yang mencakup iklim, energi, dan kebijakan. Sementara itu, AS melakukan kegiatan industri beberapa dekade sebelumnya dan telah melepaskan 509 miliar ton CO2 atau dua kali lebih banyak.
China adalah negara besar berpenduduk 1,4 miliar orang sehingga masuk akal jika negara itu akan memancarkan gas lebih banyak daripada negara-negara kecil secara keseluruhan. Namun, ketika Anda melihat emisi per kapita, rata-rata orang China mengeluarkan lebih sedikit daripada rata-rata orang Amerika Serikat.
Pada 2019, emisi per kapita China mencapai 10,1 ton. Sebagai perbandingan, AS mencapai 17,6 ton, menurut Rhodium Group.
Sebagian dari penyebab semua itu adalah soal gaya hidup. Orang Amerika Serikat menghasilkan lebih banyak uang, mereka memiliki lebih banyak mobil yang boros bahan bakar. Mereka juga terbang lebih banyak dari rata-rata orang China, menurut laporan Climate Transparency tahun 2021 mengutip perusahaan riset energi independen Enerdata.
Fakta itu tidak berarti China tidak harus memangkas emisi. Jejak karbon per kapita China dengan cepat telah mengejar jejak negara-negara kaya dalam 20 tahun terakhir atau hampir tiga kali lipat.
Pada 2020, bahan bakar fosil merupakan 87 persen dari bauran energi domestik China dengan 60 persen dari batu bara, 20 persen dari minyak, dan 8 persen dari gas alam, masih menurut Enerdata.
Di AS, 80 persen dari bauran energi berasal dari bahan bakar fosil. Dari jumlah itu, 33 persen berasal dari minyak, 36 persen dari gas alam, dan 11 persen dari batu bara, menurut Enerdata.
Pada bagian lain, gas alam menghasilkan lebih sedikit emisi daripada batu bara. Hanya saja gas itu masih berbahaya bagi iklim dan ada kekhawatiran yang berkembang bahwa AS dan bagian lain dunia terlalu banyak berinvestasi dalam gas daripada energi terbarukan.
Seorang pria bersama anjing peliharaannya berjalan di kawasan toko-toko mewah yang tutup akibat merebaknya Covid-19 di Jalan 5th, Manhattan, Kota New York, New York, Amerika Serikat, Senin (11/5/2020)./Antara-Reuter
Sementara, China adalah pengguna dan produsen batu bara terbesar di dunia dan mengkonsumsi lebih dari setengah pasokan dunia. Alasannya karena karena China menghasilkan begitu banyak produk dan bahan untuk dunia sehingga kadang-kadang disebut sebagai "pabrik dunia."
China sendiri memproduksi lebih dari setengah baja dan semen dunia, yang dibuat dari pembakaran batu bara kokas. Bahan bakar alternatif untuk industri berat ini, seperti hidrogen hijau, sedang dikembangkan tetapi belum tersedia secara luas.
Emisi dari dua industri di China saja lebih tinggi daripada total emisi CO2 Uni Eropa, menurut Badan Energi Internasional (IEA).
Masih menurut badan itu, untuk mencapai nol bersih pada 2050, 90 persen pembangkit listrik global harus berasal dari sumber terbarukan dan tenaga surya serta tenaga angin menyumbang hampir 70 persen.
Selain China adalah penghasil emisi terbesar di dunia dan masih sangat bergantung pada batu bara, negara itu juga menghasilkan sejumlah besar energi terbarukan.
Dalam hal bauran energi, China dan AS hampir sama. Untuk tenaga angin, surya, air, panas bumi, serta biomassa dan limbah merupakan 10 persen dari konsumsi energi China.
Sementara AS tidak jauh dari angka itu, yakni di 9 persen. Namun, hampir setengahnya berasal dari biomassa yaitu energi yang berasal dari zat hidup) seperti kayu dari pohon, ganggang atau kotoran hewan. Beberapa ahli dan ilmuwan berpendapat materi itu tidak selalu benar-benar terbarukan.
Namun, karena China menggunakan lebih banyak daya secara keseluruhan, negara itu telah menghasilkan lebih banyak energi terbarukan daripada AS secara riil. Pada 2020, misalnya, China menghasilkan 745.000 gigawatt-jam energi dari angin dan matahari, menurut Enerdata, sedangkan AS menghasilkan 485.000 gigawatt-jam.
Akan tetapi, dalam hal kapasitas, China adalah pemimpin global pada 2020 ketika membangun hampir setengah dari semua instalasi energi terbarukan di dunia, menurut Laporan Status Global Terbarukan 2021. Kapasitasnya tercatat hampir dua kali lipat dari 2019.
Pada sisi lain China telah membangun ladang tenaga surya dan tenaga angin yang luas dan menghasilkan lebih banyak panel surya dan turbin angin daripada negara lain mana pun. Materi ini juga memiliki pasar kendaraan listrik terbesar, yang mengambil 38,9 persen dari pangsa global penjualan mobil listrik, sementara AS mengambil 9,9 persen, kata laporan energi terbarukan.
Jadi, apa kesimpulannya?
Melihat ke depan, program iklim AS lebih ambisius daripada China. Presiden AS Joe Biden telah berjanji untuk setidaknya mengurangi separuh emisi AS pada 2030 dari tingkat 2005. Akan tetapi China berada pada tahap pembangunan yang berbeda sehingga sehingga sulit untuk menegakkan keadilan. CHina juga mengungguli AS dalam hal energi terbarukan.
Juga belum terlihat seberapa banyak kebijakan iklim AS yang bisa lolos dari Kongres. Hal yang jelas, China telah menyatakan komitmennya dalam hal "intensitas karbon". Akan tetapi akan lebih banyak emisi jika PDB-nya meningkat, yang membuatnya sulit untuk dibandingkan dengan AS'.
Dalam kata lain, meski kedua negara akan memaparkan program emisi baru ke PBB pada Kamis mendatang, tetapi keduanya hanya membuat sedikit perbaikan.
Climate Action Tracker, yang menggabungkan target negara, menilai kebijakan domestik AS lebih baik daripada China. Negara itu hampir berada di jalur yang tepat untuk menahan pemanasan global hingga dua derajat Celcius.
Ketika konteksnya untuk keadilan bagi kedua negara, mereka berdua mendapatkan peringkat 'sangat tidak cukup'. Artinya, tidak ada negara yang mampu mengurangi cukup banyak karbon atau membuat transisi ke energi terbarukan yang cukup cepat untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat sebagaimana dikemukakan di atas.