Bisnis.com, JAKARTA – Mau ke mana Afganistan setelah Taliban berkuasa kembali di negara itu, menyusul hengkangnya pasukan Amerika Serikat pada Agustus lalu?
Ada indikasi kuat bahwa pembangunan kembali negara yang sarat dilanda konflik tersebut akan sangat mengandalkan bantuan asing.
Padahal Amerika Serikat (AS) berada di Afganistan selama 20 tahun dengan segala ‘bantuan’ yang mengalir deras. Pasukan AS pula yang mengakhiri kekuasaan Taliban ‘edisi pertama’ pada 2001.
Namun gara-gara Washington juga kelompok tersebut dapat bangkit kembali dan akhirnya tampil sebagai penguasa baru Afganistan sejak Agustus lalu.
Selama dua dekade dalam dekapan AS, denyut pembangunan di negara yang pernah diserbu oleh Uni Soviet (kini Rusia) itu jelas sangat bergantung pada kebijakan Gedung Putih.
Sebaliknya, kini Taliban seperti kebingungan karena belum mendapatkan ‘seorang kawan’ (negara besar) untuk bersandar. AS baru saja pergi. China sedang sibuk dengan urusan perang dagangnya dengan AS dan beberapa negara lain meski tetap mencermati konstelasi di Afganistan.
Bagaimana dengan Rusia? Apakah Moskow mempunyai perspektif baru terhadap Afganistan yang pernah ‘dibesarkannya’ selama satu dekade (1979—1989)?
Menarik dicermati bahwa pada Rabu (20/10) Rusia menyerukan mobilisasi bantuan internasional untuk mendukung Afganistan saat Moskow menjadi tuan rumah bagi Taliban dalam penyelenggaraan sebuah konferensi internasional.
Pada saat yang sama, Rusia menyesali keputusan AS untuk menjauh. "Kami yakin bahwa inilah saatnya untuk memobilisasi sumber daya masyarakat internasional untuk memberikan Kabul dukungan kemanusiaan finansial yang efektif, termasuk untuk mencegah krisis kemanusiaan dan mengurangi arus migrasi," kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, tulis Reuters seperti dikutip Antara.
Inisiatif Rusia dalam kapasitasnya sebagai tuan rumah pembicaraan dan menggalang bantuan untuk Afganistan adalah bagian dari upayanya untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan tersebut setelah Washington menarik pasukannya dan Taliban merebut kekuasaan.
Moskow tampaknya berpeluang kuat untuk berperan lebih nyata dalam sebuah ‘kontestasi’ di antara negara-negara besar terkait dengan pembangunan kembali Afganistan di era kedua kekuasaan Taliban.
Pasalnya, sikap AS sudah jelas. Tidak akan lagi ‘menengok ke belakang’. Seperti disampaikan oleh Wakil Menteri Keuangan AS Wally Adeyemo bahwa tidak ada situasi di mana Taliban akan diizinkan mengakses dana cadangan bank sentral Afganistan yang sebagian besar disimpan di AS, tulis Antara yang mengutip Reuters.
Sebelumnya, Taliban meminta AS untuk mencabut blokir terhadap dana cadangan bank sentralnya senilai lebih dari US$9 miliar yang disimpan di luar Afganistan saat negara itu berjuang untuk menahan krisis ekonomi yang semakin dalam.
Dalam kondisi yang serba sulit, apakah Taliban akan bersikap pragmatis dengan menerima bantuan dari mitra asing baru, entah negara mana itu nantinya? Rusia sudah memberikan sinyal. China mencermati dengan saksama.
Kita tunggu saja hasil akhir dari ‘perang diplomasi’ tersebut. Persoalannya, efektivitas bantuan luar negeri untuk Afganistan patut dipertanyakan, karena dinilai justru memicu persoalan baru yang lebih gawat.
Hal ini terlihat ketika negara itu dipimpin oleh Hamid Karzai yang didukung penuh AS setelah Taliban terjungkal dalam ‘edisi pertama’ kekuasaannya pada 2001.
Perjanjian Bonn yang disepakati pada Desember 2001, dan diikuti pembentukan Loya Jirga akhirnya sukses membawa Karzai sebagai penguasa baru.
Saat itu mayoritas rakyat ingin segera lepas dari bayang-bayang rezim Taliban dan masyarakat internasional mengira bahwa yang paling dibutuhkan negara itu adalah bantuan luar negeri dalam jumlah masif (Acemoglu dan Robinson, 2012).
Alhasil, sejumlah perutusan dari AS dan PBB serta beberapa LSM internasional berdatangan ke Kabul, pusat pemerintahan Afganistan.
Apa yang terjadi sesudah itu tidak terlalu mengagetkan, terutama bagi orang-orang yang sudah mengetahui gagalnya proyek bantuan luar negeri di negara-negara miskin dan sejumlah pemerintah yang gagal dalam lima dasawarsa terakhir.
“Terjadi ironi. Dana asing yang mengalir deras ke negara itu bukannya digunakan untuk membangun infrastruktur tetapi malah diobral untuk melemahkan pemerintah [Afganistan] yang seharusnya diperkuat,” ujar duet pakar tersebut dalam bukunya bertajuk Why Nations Fail. The Origins of Power, Prosperity, and Poverty itu.