Bisnis.com, JAKARTA - Suasana 20 Oktober 2021 tampak senyap. Tidak ada keramaian di Istana. Guna membeberkan 7 tahun kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pun dengan kinerja 2 tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Agenda presiden pada hari itu, meresmikan Apkasi Otonomi Expo Tahun 2021 di Istana Kepresidenan Bogor. Tidak ada acara lain. Sehari sebelumnya, RI-1 melakukan lawatan ke Borneo. Tanam mangrove dan menyerahkan bantuan modal buat pedagang kaki lima.
Sampai tulisan ini turun, tidak ada ‘perayaan milad’ pelantikan Presiden. Acara yang acap kali dilakukan guna menyampaikan apa yang telah dicapai selama setahun memimpin. Para penggawa Istana pun tak ada suara.
Begitu juga dengan para pembantunya. Biasanya sejumlah menteri ekonomi membeberkan capaian-capaian, atau apa yang akan dilakukan ke depan. Baik lisan atau tertulis dalam siaran pers. Kali ini nihil.
Para juru tulis pun mengais-ngais informasi capaian pemerintah dari forum diskusi atau cuitan di dunia maya. Ruang publik kebanyakan membahas pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat atau kualitas demokrasi, hingga utang negara.
Catatan kinerja Jokowi pada tahun ke-7 ini banyak kontroversi mewarnai. Namun, tetap ada yang memberikan apresiasi. Baik dari kubu pendukung maupun pengkritik saling beradu menyebut nama mantan Walikota Solo tersebut.
Baca Juga
Pada periode kedua pemerintahan Jokowi memang tidak mudah. Baru berjalan 5 bulan berjalan, Kabinet Indonesia Maju ‘dihantam’ badai Covid-19. Pemerintah terlihat pontang-panting dalam mengantisipasi pagebluk.
Tidak ada negara yang siap dalam menghadapi Covid-19. Alasan yang dipakai para pemimpin dunia saat keteteran perang melawan wabah corona. Pun diadopsi oleh para pemimpin negeri ini. Hingga akhirnya ada yang tersaring dari kabinet. Reshuffle.
Ada yang berpendapat bahwa penanganan Covid-19 pemerintahan Jokowi berhasil. Indonesia tergolong terbaik di negara kawasan dalam memerangi wabah laten tersebut. Salah satu yang menyebut itu adalah riset Nikkei pada 6 Oktober 2021.
Berdasarkan Covid-19 Recovery Index, Indonesia berada di urutan teratas di antara negara Asean. Memang negara kawasan tengah berjibaku dalam mengatasi gelombang kedua, salah satunya Singapura yang tingkat keterisian rumah sakit nyaris mendekati angka 100%.
Namun, riset yang menyebutkan penanganan terbaik ini pun menjadi kontroversi. Pasalnya korban dari wabah ini tercatat terbesar di kawasan. Hingga 22 Oktober 2021 ada 143.153 orang meninggal dengan kasus positif 4.238.594 kasus dan sembuh 4.080.351 orang.
Soal keberhasilan dalam penanganan Covid-19 adalah relatif. Ancaman kenaikan kasus masih bisa terjadi. Momentum melandainya kasus sebaiknya dipakai untuk memacu vaksinasi yang saat ini belum mencapai target 70% dari jumlah penduduk seperti target Presiden.
Posisi kemarin, yang divaksin tahap I mencapai 111.496.041 orang. Angka itu sekitar 50% dari target nasional 208.265.720 orang. Adapun vaksin II mencapai 66.316.667 orang. Masih jauh dari angka 50% tentunya.
Badai Covid-19 membuat perekonomian rontok. Hingga menyentuh kerak terbawah angka positif. Pertumbuhan ekonomi pada 2020 tercatat kontraksi -2,07%. Angka ini merosot dibandingkan dengan pertumbuhan pada 2019 sebesar 5,02%.
Minusnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 merupakan yang terendah sejak 1998. Saat krisis moneter menghunjam, perekonomian republik ini terkoreksi -13,1%. Dampak pagebluk dirasakan Indonesia saja. Pertumbuhan negatif terjadi di negara lain.
Kondisi ini yang dipakai sebagai propaganda bahwa ekonomi nasional masih lebih baik dari negara lain saat pandemi. Misal, Amerika Serikat tercatat -3,5%, Singapura -5,8%, Hong Kong -6,1%, Uni Eropa -6,4%, dan Korea Selatan -1,01%.
Kondisi ekonomi kini mulai membaik. Pada kuartal II/2021 pertumbuhan ekonomi tercatat 7,07%. Angka tertinggi sejak 2004 sekaligus menandai Indonesia keluar dari resesi setelah dalam tiga kuartal masuk zona negatif.
Namun, kewajiban yang ditinggalkan guna meredam krisis dari sisi sosial dan ekonomi tidak murah. Pada tahun lalu pemerintah menggelontorkan anggaran sebesar Rp695,2 triliun dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di 2020.
Uang tersebut digunakan untuk menangani pandemi dan memulihkan ekonomi melalui penyaluran bantuan sosial hingga mendukung dunia usaha. Hal itu mampu menahan tingkat konsumsi pada zona positif.
Anggaran PEN pada tahun ini lebih tinggi dari tahun lalu. Semula anggaran PEN sebesar Rp 669,43 triliun. Namun, karena ada gelombang kedua wabah Covid-19 naik menjadi Rp744,75 triliun. Pos anggaran mirip dengan tahun lalu.
Biaya pemulihan ekonomi dan sosial dari pandemi tidak murah. Pada waktu yang sama pemerintah masih berambisi meneruskan proyek-proyek mercusuar. Contoh nyata adalah proyek LRT, ibu kota baru hingga kereta cepat yang memakai anggaran negara.
Pundi-pundi utang pun membengkak. Berdasarkan catatan Bisnis, rasio utang terhadap PDB terus menanjak. Pada 2012 rasio utang tercatat 24% terhadap PDB. Per Agustus 2021 mencapai 40,85% dengan kumulatif utang Rp6.625,43 triliun pada periode itu.
Pada tahun ini, rasio utang terhadap PDB berpotensi mencapai 44,37%. Dengan proyeksi utang mencapai Rp7.101,6 triliun. Rasio utang lebih tinggi dibandingkan dengan target pemerintah yang ditetapkan di angka 41% terhadap PDB, meski secara regulasi pada ambang 60%.
Yang mengkhawatirkan adalah rasio keseimbangan primer. Pendapatan negara dikurangi pos belanja terus mencatatkan angka negatif. Artinya pemerintah tidak ada kemampuan membayar bunga utang dari pendapatan, sehingga harus menambah utang baru, selain keperluan untuk mencicil pokok utang.
Senyampang, rasio pajak terhadap PDB pun terus melorot. Pada 2021 diprediksi rasio pajak mencapai 8,1%. Bahkan, perhitungan Bisnis, hanya mencapai 7,99%. Artinya, pendapatan dari pajak makin menyusut dan harus ditambal ‘gali lobang’ untuk menutup anggaran.
Pemerintahan Jokowi mencoba mengejar ketimpangan ekonomi dengan membangun proyek infrastruktur di pelosok negeri. Dari mulai Sabang sampai Merauke semua dijejali dengan proyek. Bahkan saat pandemi, maju tak gentar, proyek terus dikejar.
Nilai investasi pun terus menanjak meski pandemi. Pada 2020 sempat koreksi tipis, tetapi investasi lokal justru meningkat. Pada tahun berjalan 2021, investor asing berlarian masuk membenamkan fulusnya.
Proyek mercusuar Jokowi yang terasa ketika menuntaskan tol Trans Jawa, dan menghasilkan lebih dari 700 kilometer jalan bebas hambatan. Ambisi presiden ke-7 ini membangun 2.000 kilometer jalan tol.
Hal lainnya adalah proyek bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, bendungan, dan lainnya. Namun, sejumlah proyek mengundang kontroversi karena dinilai tidak ekonomis atau belum dibutuhkan. Contohnya Bandara Kertajati, Pelabuhan Kuala Tanjung, dan rencana Pelabuhan Cilamaya.
Upaya mengejar ketertinggalan dengan memperluas proyek berbasis ekonomi ini ternyata tidak sepenuhnya memberangus ketimpangan. Rasio gini pada 2019 tercatat 0,382, membaik bila dibandingkan dengan peninggalan SBY pada 2014 sebesar 0,394.
Namun, belum mencapai posisi terbaik pada 2004 sebesar 0,327. Apalagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 rasio gini ditargetkan mencapai angka 0,36.
Dengan sisa pengabdian 3 tahun ini apakah Presiden Jokowi mampu mewujudkan mimpi-mimpi yang ditabur 7 tahun atau 2 tahun lalu? Kita tentu berharap semua terwujud.