Bisnis.com, JAKARTA — Ketua MPR, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengatakan dalam praktik kehidupan politik berbangsa dan bernegara saat ini, Indonesia cenderung mengadopsi demokrasi mayoritas yang lebih berpotensi menimbulkan masalah, bukan solusi.
“Hari ini kita terjebak dalam demokrasi mayoritas ujungnya demokrasi angka-angka. Sehingga demokrasi kita menjadi demokrasi yang sangat mahal,” ujarnya dalam acara Focus Group Discussion MPR di Gedung Parlemen, Senin (18/10).
Menurutnya, demokrasi yang mahal itu akhirnya mengakibatkan praktik korupsi pada semua tingkatan. “Padahal, sejatinya demokrasi mayoritas hanya dapat bekerja optimal dalam negara yang homogen, bahkan faktanya hanya sedikit sekali negara di dunia ini yang benar-benar mengadopsi model demokrasi mayoritas secara murni. misalnya Inggris dan Barbados,” katanya.
Menurutnya, negara dengan tingkat heterogenitas yang tinggi seperti Indonesia mengadopsi demokrasi mayoritas secara absolut. "Dalam masyarakat heterogen fleksibilitas untuk membangun kompromi akan lebih sulit dilakukan, jika tidak ada semangat dan komitmen kebangsaan yang kuat untuk merangkul dan mengedepankan kebersamaan,” katanya.
Dia juga mengakui MPR saat ini tidak mencerminkan representasi dari seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Golongan dan daerah tidak terwakili di dalam susunan MPR saat ini.
Sementara itu, narasumber Letjen (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan idealnya MPR harus inklusif, bukan semuanya politisi.
Baca Juga
“Semua anggota DPR adalah politisi dan hampir semua anggota DPD juga politisi, sekarang ini, maka sebagai seorang politisi tentu akan berorientasi pada kepentingan politik masing-masing atau kelompoknya,” ujarnya.
Karena itu dia mengatakan seharusnya MPR berpikir dan berbuat demi kepentingan bangsa dan negara.
“Dengan kondisi seperti itu maka tidak mungkin MPR dapat menjadi lembaga permusyawaratan yang inklusif,” katanya.
Oleh karena itu dia meminta agar semua pihak mempertimbangkan kembali keterwakilan tiga alur kekuatan rakyat, yaitu perwakilan individu, golongan, dan daerah ke dalam sistem politik di Indonesia.
“Kita harus kembali ke susunan MPR sesuai dengan sistem yang terdiri dari anggota DPR, utusan golongan, dan utusan daerah dengan catatan rekrutmen utusan golongan dan utusan daerah harus diatur dalam undang-undang dasar, bukan undang-undang, katanya.