Bisnis.com, JAKARTA — Kuatnya intervensi asing dan kegandrungan Indonesia meratifikasi aturan internasional terkait perdagangan komoditas yang merugikan petani tembakau, membat Rancangan Undang-undang Pertembakauan sulit untuk disahkan menjadi undang-undang tersendiri.
Demikian disimpulkan dalam diskusi bertajuk “Menakar Urgensi RUU Pertembakauan dengan menampilkan nara sumber Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Pertembakauan DPR Firman Soebagyo dan Anggota Pansus Cucun Ahmad Syamsurijal serta pengamat ekonomi politik Salamuddin Daeng di Gedung DPR, Selasa (28/9).
Firman Soebagyo mengatakan intervensi asing itu terlihat dari kuatnya lobi-lobi negara produsen rokok putih untuk menekan Indonesia dengan dalih tembakau merusak kesehatan publik. Padahal, Indonesia adalah negara berdaulat yang tidak harus selalu mengikuti keinginan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
“Karena itu, kita harus berjuang meng-golkan RUU ini karena penting bagi bangsa dan negara,” ujarnya.
Untuk mempertahankan kesejahteraan petani, dia menilai Indonesia juga tidak perlu meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diusulkan Amerika Serikat. Anehnya, katanya, Amerika Serikat sendiri tidak mau tanda tangan tapi memaksa Indonesia untuk menandatanganinya.
“Apakah ada di dunia calon presiden manapun yang berani mengkampanyekan melarang rakyatnya merokok. Karena bisnis tembakau ini banyak kepentingan multinasional,” ujarnya.
Firman lebih jauh mengatakan hal paling mendasar adalah perlu kehadiran negara dalam bentuk regulasi karena jelas bahwa industri rokok mau tidak mau, suka tidak suka memberikan kontribusi yang besar bagi negara, baik dari cukai rokok untuk mensubsidi BPJS Kesehatan dan kegiatan lain.
“Pemerintah jangan dulu meratifikasi FCTC, karena akan berpengaruh pada kehidupan petani tembakau,” katanya.
Sependapat dengan Firman, Salamudin Daeng mengatakan bahwa sektor industri tembakau nasional merupakan sektor industri ekonomi nasional yang telah mapan dengan penyerapan tenaga kerja kerja yang tinggi, bahan baku mandiri. Tata niaganya juga telah terbentuk dan merupakan penyumbang penerimaan negara cukai dan pajak yang tidak sedikit.
Dia menegaskan, ratifikasi FCTC akan merugikan bahkan akan menghancurkan industri rokok Indonesia.
Hanya saja dia menyarankan sebaiknya nama undang-undang nantinya diganti saja dengan nama lain karena dengan menggunakan pertembakauan terkesan regulasinya terlalu sempit. Dia mengatakan bisa saja RUU itu diberi nama RUU Komoditas Strategis Nasional.