Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Dave Laksono mengatakan, bahwa salah satu penyebab tidak tuntasnya penanganan masalah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua adalah akibat masih adanya pejabat setempat yang “bermain” untuk kepentingan pribadi ketimbang kepentingan negara.
Akibat permainan para pejabat itu, penyelesaian persoalan keamaman di Papua tidak pernah tuntas. Akibatnya, kasus kejahatan selalu terulang hingga kini. Bahkan, pemerintah telah menyebut gerakan mereka sebagai aksi terorisme.
“Situasi keamanan terus seperti ini, karena diduga pejabat pejabat daerah di Papua masih turut bermain di sana. Siapa dan apa jabatannya, itulah yang harus dilakukan oleh aparat keamanan untuk membukanya,” ujar Dave pada diskusi bertajuk “Jalan Terjal Pemberantasan KKB di Papua" di Gedung DPR, Kamis (23/9/2021).
Turut menjadi nara sumber pada diskusi itu adalah politisi PDI Perjuangan Effendi Simbolon (virtual) dan pengamat intelijen Ridlwan Habib
Dave mensinyalir banyak pejabat di pemerintahan daerah tingkat I dan tingkat II membiayai gerakan teroris tersebut.
Mereka diduga memberikan senjata, uang, bahkan mencari pelatih-pelatih buat para personelnya untuk penyerangan dan perusakan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Baca Juga
“Mereka juga menjadi bagian dari permasalahan, bukan bagian dari solusi. Karena itulah pentingnya keberadaan personel TNI/Polri maupun Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memantau hal tersebut,” ujar Dave.
Selain itu, katanya, ada juga indikasi manuver dari Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk melakukan perubahan-perubahan di dalam Undang-undang Otsus.
Dave mengatakan, mereka berkepentingan mengubah UU Otsus unuk memberikan keleluasaan lebih besar kepada MRP untuk mengelola dana tersebut dan juga meminimkan peran pemerintah pusat.
Effendi Simbolon menegaskan, bahwa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) bukan teroris. Label teroris mestinya disematkan kepada Kelompok Poso, gerbong Ali Kalora cs.
“Jadi, mereka warga, Papua bukan terorisme, tapi yang diperjuangkan oleh mereka adalah kemerdekaan melalui referendum,” kata Effendi.
Menurunya, salah satu program utama yang akhirnya juga menggerakkan masyarakat Papua melakukan perlawanan yaitu munculnya stigma negatif yang selalu dilekatkan terhadap orang asli Papua (OAP).
“Jangan samakan stigma atas kelompok Poso Ali Kalora dengan masyarakat di Papua. Saya kira agak keliru. Jadi tak mudahlah menyelesaikan Papua kalau belum mampu menyelesaikan teroris di Poso,” ujar Effendi.
Adapun, Ridlwan Habib mengatakan bahwa kesulitan dalam mengarahkan pasukan ke Papua adalah akibat kendala payung hukum. Menurutnya, hingga kini peraturan presiden soal pengerahan pasukan TNI terkait penanganan teroris di sana belum keluar.
Pada sisi lain, pengerahan pasukan juga membutuhkan kecepatan dan rantai kendali yang pendek. Dengan demikian, begitu terjadi sebuah insiden, aparat keamanan bisa lebih cepat sampai di dlokasi dengan kewenangan yang ada.