Bisnis.com, JAKARTA – Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32/2002 tentang Penyiaran diharapkan masih relevan dengan lanskap industri penyiaran di masa depan seiring dengan hadirnya teknologi 5G.
Wakil Ketua I Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil R. Tobing mengatakan bahwa revisi UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran sebaiknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Pasalnya, dalam waktu dekat teknologi 5G akan hadir di Indonesia dan akan mengubah banyak hal dalam industri media, tak terkecuali model bisnisnya.
“Jangan sampai seperti pendahulunya yang keluarnya terlambat. Digitalisasi sudah dimulai, tetapi yang dikeluarkan aturan baru yang tidak mengatur bagaimana model bisnis dan pengawasan konten di platform digital. Jangan sampai juga nanti yang diatur di revisi sekarang apa, tetapi saat nanti implementasi 5G sudah berbeda lagi yang harus diatur. Ketinggalan zaman,” ujarnya kepada Bisnis belum lama ini.
Neil menjelaskan bahwa saat 5G diimplementasikan, platform digital seperti video sesuai permintaan (video on demand/VOD), media sosial, dan sebagainya akan kalah populer dengan penyedia konten (content provider) yang mendistribusikan hasil produksinya secara langsung ke perusahaan telekomunikasi.
Konten yang didistribusikan melalui 5G tentu saja jauh lebih beragam, tidak hanya sebatas SMS premium, aplikasi, dan ring back tone seperti saat ini.
Teknologi yang baru diperkenalkan di Indonesia secara terbatas memungkinkan penyedia konten mendistribusikan konten-konten berisi informasi maupun hiburan dalam bentuk audio, visual, atau gabungan antara keduanya secara langsung ke perusahaan telekomunikasi.
“Untuk pengawasan konten ini tentunya yang tidak boleh absen adalah penguatan kelembagaan KPI [Komisi Penyiaran Indonesia], bukan dalam hal perizinan, tetapi pengawasan, karena perizinan ini sudah diberikan kewenangannya ke pemerintah,” papar Neil.
Alih-alih menyelesaikan revisi UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, menurut Neil, jauh lebih baik pemerintah dan DPR melakukan harmonisasi kebijakan, khususnya aturan turunan dari UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Seperti diketahui, beleid sapu jagat itu ikut mengatur sejumlah hal terkait dengan penyiaran, khususnya transformasi dari penyiaran analog ke digital.
Neil menyebut, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran yang menjadi aturan turunan dari UU Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja belum sepenuhnya sinkron dengan PP Nomor 50/2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.
Adapun, harapan ATVSI dari pemerintah sejauh ini adalah mempertimbangkan kembali rencana analog switch off (ASO) televisi yang harus tuntas sepenuhnya pada 2 November 2022.
Pasalnya, kebijakan tersebut berpotensi mengurangi jumlah penonton televisi, terutama yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.
“Apalagi kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, untuk beralih ke televisi digital ini dibutuhkan alat set-up box. Harganya lumayan, ratusan ribu [rupiah]. Pemerintah mau kasih 6,8 juta saja buat keluarga miskin, tetapi yang butuh sebenarnya 90 persen keluarga Indonesia yang menurut survei atau 54 juta. Kalau dipaksa, tentunya bakal mengurangi jumlah penonton televisi yang sudah berkurang sekarang,” tutupnya.