Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Badan Pengkajian MPR, Djarot Saiful Hidayat mengindikasikan tidak akan ada lagi pembicaraan perubahan masa jabatan presiden meskipun ada amendemen atas UUD 1945.
Bahkan, menurut dia, amendemen pun kecil kemungkinan akan terjadi mengingat urgensinya yang tidak tinggi. Kendati demikian, dia menegaskan amendemen penting dilakukan terutama terbatas soal Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan syarat yang juga tidak mudah.
“Kami tidak pernah membicarakan, apalagi membahas atau mengusulkan penambahan masa jabatan presiden,” ujar politisi PDI Perjuangan itu pada diskusi bertajuk “Urgensi PPHN Bagi Pembangunan Nasional” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/9/2021).
Turut jadi narasumber selain Djarot politisi Partai Nadem Taufik Basdarah dan pengamat Hukum Adminsitrasi Negara Asep Warlan, Senin (13/9).
Djarot mengatakan badan pengkajian yang dipimpinnya sebagai alat kelengkapan MPR telah melakukan kajian secara mendalam terhadap Pokok-Pokok Haluan Negara terkait dengan substansi dan bentuk hukumnya. Tujuannya adalah untuk menindaklanjuti keputusan MPR Nomor 8 periode 2014-2019.
Sementara itu, Anggota MPR Fraksi NasDem, Taufik Basari mengatakan bukan tidak mungkin amendemen terbatas UUD 1945 akan melebar dan justru malah membuka kotak pandora. Dia mengibaratkan amandemen seperti layaknya gempa tektonik.
"Sekarang pertanyaannya terkait dengan amandemen terbatas ada pihak-pihak yang mengkhawatirkan bahwa ketika kita putuskan amendemen terbatas apakah kita bisa pastikan itu terbatas? Apakah kemudian tidak membuka kotak pandora?," kata Taufik dalam diskusi tersebut.
Menurutnya, membuka kotak pandora mungkin-mungkin saja bisa terjadi dalam suatu proses amandemen kelima dalam amandemen terbatas.
Taufik menjelaskan bahwa jika amendemen dilakukan misalnya untuk memasukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) maka kemungkinan juga akan ada pasal-pasal lain yang akan dilihat. Pasalnya, kata dia, pasal-pasal dalam konstitusi saling berkaitan.
Taufik pun mempertanyakan dua hal, pertama, kenapa GBHN ketika itu dihapuskan oleh MPR dan kini ingin dihadirkan kembali. Kemudian, posisi kewenangan MPR akan dikembalikan seperti dulu lebih tinggi di atas presiden.
"Bagaimana posisi presiden dengan MPR hubungannya seperti apa, bagaimana kemudian presiden dianggap tidak melaksanakan PPHN apakah dianggap sebagai pelanggar konstitusi sehingga bisa dihimpit. Ini lah pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab ketika kita melakukan kajian sehingga tuntas," tuturnya.
Lebih lanjut, Taufik menyamakan proses amandemen seperti peristiwa gempa tektonik. Di mana ada pergeseran gerak bumi harus ada penyesuaian tanah di atasnya.