Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Soekarno adalah orang yang menentukan kemerdekaan RI ditetapkan pada 17 Agustus 1945, atau 76 tahun silam.
Bahkan, dia bersikeras 17 Agustus tetap menjadi hari kemerdekaan RI, meski rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur 56 (kini Jalan Proklamasi), didatangi para pemuda yang mendesak kemerdekaan segera diproklamirkan.
Sampai ia diculik ke Rengasdenglok, Bung Karno tetap menolak desakan para pemuda agar saat itu juga kemerdekaan diproklamasikan. Dia lebih memilih tanggal 17 Agustus.
Dikutip dari kai.or.od, Sukarni, salah seorang pemimpin pemuda radikal kala itu mempertanyakan Bung Karno. “Mengapa diambil tanggal 17 Agustus? Mengapa tidak sekarang atau tanggal 16 Agustus?”.
Tapi, lagi-lagi Soekarni bersikukuh bahwa dia memutuskan hal itu juga karena dia percaya pada hal mistis.
“Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan secara pertimbangan akal mengapa tanggal lebih memberi harapan. Angka 17 adalah suci. Orang Islam sembahyang 17 rakaat sehari, Jumat hari suci.” tulisnya.
Bung Karno menambahkan, dia merasakan dalam kalbunya bahwa hari itu adalah hari yang sangat baik. Ditambah lagi, 17 adalah angka keramat dan angka suci. Selain itu, 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan Ramadan.
"Waktu kami semua sedang berpuasa. Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang berbahagia dan suci. Dan, hari Jumat tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, mengapa tidak 10 atau 20 saja? Karena itu, kesucian angka 17 bukan buatan manusia,” ujar Presiden pertama Indonesia ini.
Menurut Soekarno, saat mendengar berita penyerahan Jepang, ia menyadari takdir Tuhan bahwa peristiwa Proklamasi akan jatuh pada hari keramat-Nya. Setelah tiba di Jakarta dari Rengasdengklok pada tanggal 17 Agustus 1945 dini hari, pembacaan proklamasi akhirnya dilakukan di rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta pada pukul 10 pagi.
Sebagai orang Jawa percaya pada perhitungan hari baik adalah hal yang lumrah. Pasalnya, sudah sejak zaman dahulu, kemampuan orang Jawa dalam melihat perubahan alam dan kehidupan. Bahkan hingga sekarang peninggalan para leluhur berupa hitungan-hitungan, prediksi, tata cara, dan perlambang, masih digunakan oleh masyarakat umum.
Salah satu perhitungan hal-hal dalam kehidupan oleh masyarakat Jawa yang diyakini dan sudah menjadi tradisi yakni bancaan weton. Selematan bancaan weton merupakan simbolisasi terhadap spritualitas orang Jawa, simbol sosial dan moral, dan simbol tradisi.
Bancaan weton biasanya dilakukan sebagian besar oleh masyarakat Jawa dari kalangan bawah, menengah, terpelajar dan begitu dipegang kuat oleh kalangan kraton.
Khusus untuk 17 Agustus 1945 jatuh pada Jum'at Legi.
Dikutip dari primbonmu.com, berdasarkan Primbon Jawa Mujarobat Kubro, Weton jumat legi atau dikenal dengan sebutan Jumat manis memiliki banyak makna.
Pada dasarnya hari jumat manis itu memiliki jumlah neptu 11. angka ini didepatkan dari hitungan hari jumat yaitu 6 dan juga hari legi yaitu 5.
Banyak hal positif pada weton jumat legi ini. Termasuk pada orang-orang yang lahir pada hari tersebut.
Dalam primbon Jawa, hari jumat manis itu diibaratkan layaknya sangar waringin. Ini berarti memiliki jiwa pemimpin, bisa diandalkan, mengayomi dan melindungi sesamanya. Hatinya teduh dan juga jarang sekali menyakiti perasaan orang lain.
Bahkan, masyarakat Jawa juga kerap melakukan tradisi selametan Jumat legi yang merupakan tradisi yang dilakukan oleh warga secara rutin sebulan sekali sesuai dengan penanggalan jawa, yakni setiap malam Jumat Legi. Malam Jumat Legi bagi masyarakat Jawa Timur dianggap sebagai malam keramat. Demikian dikutip dari lp2m.um.ac.id.
Malam Jum’at legi menurut sebagian masyarakat, dianggap sebagai malam istimewa dan sakral.
Jum’at dilatar belakangi dengan mitos sebagai lambang air, sebagai zat penyangga kehidupan. Sedangkan Legi diartikan sebagai simbol arah mata angin timur, simbol unsur kehidupan pokok.