Bisnis.com, JAKARTA – Jakarta disebut Presiden AS Joe Biden terancam tenggelam 10 tahun mendatang. Nun jauh di sana, krisis air bersih akut menghantam Lebanon dan mengancam kelangsungan hidup sedikitnya 4 juta warga.
Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengungkap bahwa bencana banjir yang rutin melanda Jakarta mempercepat ancaman ibu kota tenggelam (2030). Prediksi tersebut senapas dengan laporan analisis Greenpeace (28/7) terhadap tujuh kota pantai di Asia yang akan tenggelam diterjang bandir bandang, termasuk Jakarta (2030). (Bisnis, 4/8).
Apa yang bisa kita baca dari kisah miris dan proyeksi dari kedua negara yang terpaut jauh secara geografis tersebut?
Lebanon memang sedang ‘sesak napas’. Negara ini tengah berjuang melawan krisis ekonomi yang telah mendorong lebih dari setengah penduduknya ke dalam kemiskinan dan melihat mata uangnya kehilangan lebih dari 90% nilainya dalam waktu kurang dari dua tahun.
Di sisi lain, Jakarta masih belum terbebas dari ancaman banjir besar dan malah disebut Biden terancam tenggelam. Beirut dan Jakarta bisa jadi telah mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasinya tetapi tampaknya masih jauh dari memadai untuk menyebut ancaman sekadar mimpi siang bolong.
Krisis semacam ini mengingatkan saya pada pemburukan kondisi lingkungan global yang digambarkan Thomas L. Friedman dalam karyanya berjudul Hot, Flat, and Crowded.
Di dalamnya dipaparkan betapa bumi telah menjelma menjadi tempat yang penuh sesak, karena penduduk yang makin banyak seiring keberhasilan menekan angka kematian.
Industrialisasi bertumpuk di kawasan perkotaan dan sekitarnya tanpa upaya yang seimbang dalam pembenahan sarana dan prasarana.
Juga, nestapa di Lebanon itu mengingatkan kita semua pada apa yang pernah disampaikan oleh PBB pada 2018 dalam laporannya berjudul An Agenda for Water Action. Itu adalah peringatan nyata bahwa dunia dalam bahaya krisis air.
Laporan bersama Bank Dunia dan PBB itu menyatakan saat ini 40% populasi dunia mengalami kelangkaan air. Laporan yang disusun berdasarkan penelitian selama dua tahun tersebut mengatakan 700 juta orang akan menderita akibat kelangkaan air parah pada 2030.
"Ekosistem basis kehidupan, keamanan pangan, keberlanjutan energi, kesehatan masyarakat, pekerjaan, kota, semua terancam karena bagaimana air sekarang dikelola," kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim ketika itu sambil menegaskan bahwa dunia tak bisa lagi mengambil air begitu saja secara cuma-cuma.
PBB mencatat bahwa ada banyak masalah menyangkut air, contohnya kekeringan parah yang disebabkan perubahan iklim. Ada juga kesalahan manajemen air dan infrastruktur yang tidak memadai.
Tak pelak lagi, dunia harus bergerak mulai dari sekarang, karena memang tidak ada pilihan lain yang lebih rasional. Solusi inovatif dari pemikir kreatif masa kini diyakini dapat menyelamatkan masa depan untuk generasi yang akan datang. Meski demikian, kekurangan air bersih semakin meningkat.
Ada pernyataan dari Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengenai krisis ini yang layak direnungkan. "Kita punya satu kesempatan untuk mengubah situasi air dengan bertindak untuk masa depan yang menjanjikan, dunia yang lebih baik, yang tidak akan melihat tetesan air terakhir," tegasnya.
Adakah yang bisa kita lakukan agar dunia tetap menjadi tempat di mana burung bisa terbang dan menyanyi. Tempat kita bisa menghirup udara yang bersih. Tempat kita tidak takut tenggelam atau takut mengalami kekeringan yang membakar.
Kesadaran bersama dan kolaborasi nyata global agaknya akan menentukan wajah bumi kita di masa depan.