Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Krisis Air Bersih di Bumi yang Makin Panas

Kita punya satu kesempatan untuk mengubah situasi air dengan bertindak untuk masa depan yang menjanjikan, dunia yang lebih baik, yang tidak akan melihat tetesan air terakhir.
Bantuan air bersih kepada wilayah kekeringan di Pasuruan, Jawa Timur./Antara
Bantuan air bersih kepada wilayah kekeringan di Pasuruan, Jawa Timur./Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Apa yang bisa kita baca dari kisah miris di Lebanon saat menghadapi krisis akut air bersih?

Sialnya, bencana ini juga berdampak kepada sedikitnya satu juta pengungsi. Kondisi dilaporkan semakin gawat karena akses terhadap air bersih kian tersendat, karena negara itu kekurangan dana, bahan bakar, dan pasokan memengaruhi pemompaan air.

Menurut PBB, lebih dari 4 juta orang yang akan terimbas dari krisis tersebut.

"UNICEF memperkirakan bahwa sebagian besar pemompaan air secara bertahap akan berhenti di seluruh negeri dalam empat hingga enam minggu ke depan," kata sebuah pernyataan oleh badan PBB itu, tulis Antara yang mengutip Reuters.

Lebanon memang sedang ‘sesak napas’. Negara ini tengah berjuang melawan krisis ekonomi yang telah mendorong lebih dari setengah penduduknya ke dalam kemiskinan dan melihat mata uangnya kehilangan lebih dari 90% nilainya dalam waktu kurang dari dua tahun.

Apa yang terjadi? Kelangkaan bahan pokok dan vital lainnya terlihat di mana-mana, termasuk obat-obatan, karena dolar menipis.

UNICEF mengingatkan bahwa jika sistem pasokan air publik runtuh, biaya air bisa melonjak 200% per bulan karena air akan diamankan dari pemasok swasta.

Badan PBB tersebut memperkirakan dibutuhkan sedikitnya US$40 juta per tahun untuk mengamankan tingkat minimum bahan bakar, klorin, suku cadang dan pemeliharaan yang diperlukan untuk menjaga sistem kritis tetap beroperasi.

"Kecuali tindakan segera diambil, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas umum penting tidak akan dapat berfungsi," kata Perwakilan UNICEF di Lebanon, Yukie Mokuo.

Krisis semacam ini mengingatkan saya pada pemburukan kondisi lingkungan global yang digambarkan Thomas L. Friedman dalam karyanya berjudul Hot, Flat, and Crowded.

Di dalamnya dipaparkan betapa bumi telah menjelma menjadi tempat yang  penuh sesak, karena penduduk yang makin banyak seiring keberhasilan menekan angka kematian.

Industrialisasi bertumpuk di kawasan perkotaan dan sekitarnya tanpa upaya yang seimbang dalam pembenahan sarana dan prasarana.

Juga, nestapa di Lebanon itu mengingatkan kita semua pada apa yang pernah disampaikan oleh PBB pada 2018 dalam laporannya berjudul An Agenda for Water Action. Itu adalah peringatan nyata bahwa dunia dalam bahaya krisis air.

Laporan bersama Bank Dunia dan PBB itu menyatakan saat ini 40% populasi dunia mengalami kelangkaan air. Laporan yang disusun berdasarkan penelitian selama dua tahun tersebut mengatakan 700 juta orang akan menderita akibat kelangkaan air parah pada 2030.

"Ekosistem basis kehidupan, keamanan pangan, keberlanjutan energi, kesehatan masyarakat, pekerjaan, kota, semua terancam karena bagaimana air sekarang dikelola," kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim ketika itu sambil menegaskan bahwa dunia tak bisa lagi mengambil air begitu saja secara cuma-cuma.

Merespons hal itu, Pemerintah Belanda juga pernah menyerukan agar dunia harus bergerak mulai dari sekarang, karena memang tidak ada pilihan lain yang lebih rasional.

Solusi inovatif dari pemikir kreatif masa kini diyakini dapat menyelamatkan masa depan untuk generasi yang akan datang. Meski demikian, kekurangan air bersih semakin meningkat.

PBB mencatat bahwa ada banyak masalah menyangkut air, contohnya kekeringan parah yang disebabkan perubahan iklim. Ada juga kesalahan manajemen air dan infrastruktur yang tidak memadai.

Terkait dengan laporan PBB tersebut, Pemerintah Afrika Selatan juga menyerukan agar dunia mengambil kesempatan untuk mengubah situasi saat ini.

"Kita punya satu kesempatan, untuk mengubah situasi air, dengan bertindak untuk masa depan yang menjanjikan, dunia yang lebih baik, yang tidak akan melihat tetesan air terakhir," kata Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa ketika itu.

Cape Town, kota di Afrika Selatan, meski dikelilingi air, bakal menjadi kota besar pertama yang mengalami krisis air. Kota tersebut sempat menyiapkan pekan Hari Nol, di mana keran-keran air bakal kering. Namun berkat upaya konservatif, otoritas Afrika Selatan menyatakan ‘Hari Nol’ sejatinya masih bisa dicegah.

Selain Afrika Selatan, Amerika Serikat juga tengah berusaha mengatasi kelangkaan air. Demikian pula Kanada di mana para ilmuwan telah mengingatkan sejumlah wilayah bakal mengalami krisis air.

Apakah masa depan kita sedemikian suram?

Adakah yang bisa kita lakukan agar dunia tetap menjadi tempat di mana burung bisa terbang dan menyanyi. Tempat kita bisa menghirup udara yang bersih. Tempat kita tidak takut tenggelam atau takut mengalami kekeringan yang membakar.

Tempat kita bisa membangun keluarga yang berkecukupan…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper