Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Thailand Berpotensi Rombak Konstitusi, Parlemen Mulai Membuka Jalan

Permintaan untuk membatasi kekuasaan Kerajaan sudah mendapat banyak penolakan dari pembuat kebijakan.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha./Thailand
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha./Thailand

Bisnis.com, JAKARTA - Parlemen Thailand membuka jalan untuk perombakan konstitusi. Isu perombakan konstitusi merupakan salah satu poin penting tuntutan gerakan protes yang dipimpin para pemuda pada tahun lalu.

Dilansir Bloomberg, Selasa (22/6/2021), pembuat kebijakan dari senat dan DPR Thailand mengambil suara untuk mendukung RUU yang akan membuka jalan bagi jajak pendapat publik untuk merombak piagam tersebut.

Pengambilan suara tersebut diikuti dengan pengadilan konstitusional pada Maret yang memutuskan referendum harus diadakan sebelum perombakan. Hal ini membuat proses perombakan tertunda.

Para aktivis meminta rezim militer Perdana Menteri Prayuth Chan-Ocha yang memimpin kudeta pada 2014, mundur. Para pemuda prodemokrasi ini juga meminta transparansi dari Kerajaan.

Pada Kamis, anggota parlemen rencananya memberikan suara pada pembacaan pertama dari amandemen yang mereka usulkan. Usulan mencakup perubahan aturan pemilihan umum.

Pada hari itu, aktivis juga akan kembali turun ke jalan setelah sempat berhenti selama 6 bulan karena Covid-19.

Meskipun proses referendum dan perombakan konstitusi telah mendapat dukungan, anggota parlemen tampaknya tidak akan mengejar dilakukannya perubahan dalam waktu dekat. Mereka akan lebih fokus melakukan perubahan kecil yang tidak perlu dukungan publik.

Beberapa permintaan seperti pembatasan kekuasaan senat kemungkinan tidak akan mendapat dukungan dari parlemen yang disokong militer.

Di samping itu, permintaan untuk membatasi kekuasaan Kerajaan juga sudah mendapat banyak penolakan dari pembuat kebijakan. Penolakan terjadi lantaran pembahasan institusi kerajaan secara terbuka merupakan hal yang tabu.

Diskusi tentang perombakan konstitusi dimulai akhir tahun lalu untuk menenangkan gerakan protes yang berkembang sejak pertengahan 2020.

Puluhan aktivis prodemokrasi menghadapi tuduhan penghasutan dan penghinaan terhadap monarki hingga terancam hukuman penjara selama 15 tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nindya Aldila
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper