Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

G7 versus China: Bagaimana Peta Geopolitik dan Ekonomi Dunia Usai KTT?

Dengan segala dinamika dan perkembangan geopolitik dan ekonomi global, keengganan Eropa untuk bertindak terlalu keras terhadap China bisa dipahami.
Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam pertemuan 2012 di Gedung Putih/ Bloomberg
Presiden China Xi Jinping dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dalam pertemuan 2012 di Gedung Putih/ Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Joe Biden baru saja mencatat kemenangan politik besar. Biden berhasil mewujudkan rencana menyatukan sekutu terdekat Washington dalam menghadapi China.

Hal itu menandai berakhirnya pertemuan puncak pemimpin dunia (KTT) anggota G7 di London beberapa waktu lalu.

Hanya saja langkah politik Biden itu tidak mudah diwujudkan dalam bentuk tindakan. Dibutuhkan banyak upaya daaripada sekadar kata-kata mengingat kemajuan China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia tidak bisa ditahan.

Apalagi China juga sedang giat-giatnya membangun kemampuan industri pertahanan yang cukup menggetarkan. Negara dengan penduduk lebih dari 1,5 miliar jiwa itu juga merupakan pasar yang menggiurkan bagi eskpor negara G7.

Tidak ada yang salah dengan upaya AS bergabung dengan Inggris, Jerman, Prancis, Italia, dan Kanada akhir pekan lalu untuk menyampaikan kecaman terkuat Kelompok Tujuh (G7) terhadap China. Hanya saja perlu dicatat kecaman itu tidak biasa dan baru pertama bagi Biden yang baru beberapa bulan menjadi pemimpin AS menggantikan Donald Trump.

Negara G7 memang menghadapi China di hampir setiap titik yang menyakitkan, mulai dari tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan kerja paksa kelompok minoritas Muslim di Xinjiang, hingga perselisihan politik yang sedang berlangsung atas Hong Kong. Demikian juga dengan isu Taiwan dan Laut China Selatan.

Bahkan, sebagai negara demokrasi terkaya di dunia, AS juga mendorong penyelidikan independen baru tentang asal usul wabah Covid-19. Tidak hanya itu, AS terus menghadang rencana ekspansif Presiden China Xi Jinping meningkatkan pengaruh perdagangannya yang dikenal dengan Program Belt and Road.

Hubungan AS-Sekutu

Retorika itu, bagaimanapun juga, setidaknya merupakan sebuah langkah maju bagi seorang presiden AS. Biden berupaya menyatukan mitra diplomatiknya untuk melawan apa yang dilihat Washington sebagai ancaman terbesar terhadap perdagangan, teknologi, dan masalah strategis lainnya.

Apa yang dilakukan Biden dapat dimaklumi. Pasalnya, mantan Presiden AS Donald Trump juga telah berbicara keras tentang China dan "menampar" negara itu serta perusahaan-perusahaan unggulannya dengan berbagai sanksi.

Akan tetapi, pada sisi lain Trump tidak pernah benar-benar menghadirkan front persatuan dengan sekutu AS. Bahkan terkesan dia ibarat lebih sering “membakar jembatan” daripada membangunnya.

Memang komunike bersama negara G7 pada dasarnya tidak mencakup banyak langkah nyata ke depan. Misalnya, grup tersebut membentuk gugus tugas untuk mengeksplorasi apa yang disebutnya sebagai prakarsa "Membangun Kembali Dunia yang Lebih Baik".
Begitu juga dengan prakarsa yang dipimpin sektor swasta untuk membantu membangun infrastruktur senilai US$40 triliun di negara berkembang.

G7 Beredalih prakarsa itu sebagai penyeimbang Program Belt and Road yang dilancarkan China secara besar-besaran.
Akan tetapi, kelompok negara industri maju itu belum menjelaskan berapa biaya program yang akan didanai kelompok keuangan pemerintah AS, sektor swasta, dan negara-negara G7.

G7 juga menyerang China dengan meminta negara itu untuk "menghormati hak asasi manusia dan kebebasan mendasar" di Xinjiang. Untuk kasus Hong Kong, G7 juga tidak memerinci tentang bagaimana menindaklanjuti dengan tindakan nyata selain tidak menawarkan cara praktis untuk menjaga stabilitas Selat Taiwan dan Laut China Selatan.

Respons China terhadap G7

Lalu, bagaimana dengan sikap China? Sebagai negara berpenduduk terbesar di dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil, tentu negara itu juga punya kehormatan untuk membela diri.

Tidak tinggal diam, pemerintahan negara yang dikomandoi Xi Jinping itu tidak ragu membalas pernyataan tersebut dan menuduh G7 sengaja memfitnah China. Bahkan G7 disebut secara sewenang-wenang telah mencampuri urusan dalam negeri China.

Kedutaan Besar China di London menyebut apa yang dilakukan Biden dan kawan-kawannya sebagai pelanggaran serius terhadap norma-norma dasar hubungan internasional.

Memang ada beberapa alasan mengapa Beijing meradang dan terus mencermati sepak terjang G7 yang dimotori AS sehingga harus mengawasinya. Beberapa sanksi yang dijatuhkan era Trump efektif untuk membatasi kebangkitan teknologi China.

Lihat saja, misalnya, cara Trump menyerang perusahaan teknologi Huawei. Perusahaan yang bergerak di bisnis smartphone dan 5G itu babak belur dengan membatasi aksesnya ke teknologi Amerika Serikat.

AS juga menekan Eropa dan sejumlah negara yang berbisnis dengan perusahaan itu. Di bawah Biden, Amerika Serikat baru-baru ini memperluas larangan investasi Amerika Serikat di puluhan perusahaan China.

Parlemen AS juga sedang memajukan RUU yang akan menguntungkan AS ratusan miliar dolar di sektor teknologi, sains, dan penelitian Amerika Serikat dengan “mengerjai” China.

“Perbedaan yang tidak dapat didamaikan terkait prinsip ekonomi yang lebih dikuasai negara dan sikap otoriter China akan terus mendorong polarisasi dan persaingan,” kata Alex Capri, seorang peneliti di Hinrich Foundation seperti dikutip CNN.com, Selasa (15/6/2021).

Dia menambahkan bahwa kerangka kerja "berbasis nilai" dari negara Barat seputar pengembangan infrastruktur, perdagangan, dan jaringan rantai pasokan jelas akan mengadang.

"Standar hak asasi manusia seputar privasi dan kebebasan berbicara, standar perburuhan yang adil, dan lingkungan yang bersih akan semakin mengasingkan Beijing," kata Capri.

Ketegangan seperti itu telah terjadi di panggung global, dengan banyak perusahaan negara Barat menghadapi tekanan untuk membatasi bisnis di China karena keprihatinan tentang kerja paksa.

Akan tetapi, seperti gayung bersambut, pada gilirannya beberapa perusahaan negara Barat menghadapi boikot di China karena mengecam penanganan pemerintah terhadap warga Xinjiang. Sebaliknya, tepat sebelum KTT G7 dimulai, China telah mengesahkan undang-undang untuk melawan sanksi asing.

Sulit untuk dibantah, produk legislasi itu menjadi sebuah peringatan simbolis bahwa setiap tindakan yang diambil Barat akan dibalas dengan kuat oleh China.

Di sisi lain, mungkin sulit bagi negara-negara G7 untuk menahan laju pergerakan China. Akhir pekan lalu, para pemimpin demokrasi mengungkapkan perbedaan serius tentang cara terbaik untuk mendekati China, ketika Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada mendesak tindakan yang lebih kuat terhadap otoritarianisme China daripada yang dilakukan sekutu mereka.

Ketergantungan Eropa pada Ekonomi China

Dengan segala dinamika dan perkembangan geopolitik dan ekonomi global, akhirnya keengganan negara-negara Eropa untuk bertindak terlalu keras terhadap China bisa dipahami.

Mungkin sebagian berasal dari ketergantungan ekonomi yang kuat. Maklum, dari 2010 hingga 2019, Jerman menerima €22,7 miliar (US$27,5 miliar) dalam bentuk investasi asing langsung dari China.

Sedangkan Italia menerima €15,9 miliar (US$19,2 miliar) dan Prancis meraup €14,4 miliar (US$17,4 miliar, menurut Mecrator Institute of China Studies seperti dikutip CNN.com.

Bahkan Inggris, meski hubungannya dengan China tegang selama beberapa tahun terakhir, menerima €50,3 miliar (US$60,9) dalam investasi semacam itu.

Sementara itu, Jerman mengandalkan kemitraan dengan China untuk mendorong industri otomotifnya, terutama untuk menyediakan pasar besar bagi ekspor negara itu.

"Pada akhirnya, keinginan ekonomi Uni Eropa untuk tidak terkait dengan China dan upaya Biden menggalang sekutunya melawan negara itu akan menciptakan hambatan alami dalam membangun kerja sama," tulis analis di Eurasia Group dalam sebuah catatan minggu lalu menjelang perjalanan Biden.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper