Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU menolak rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi lembaga pendidikan. Oleh karena itu LP PBNU meminta pemerintah membatalkan rencana menerapkan kebijakan tersebut.
Ketua LP Ma'arif PBNU Arifin Junaidi mengatakan bahwa sampai saat ini pihaknya terus bergerak di bidang pendidikan bukan untuk mencari keuntungan finansial, melainkan untuk terus berperan dalam upaya mencerdaskan bangsa sebagai pelaksanaan amanat UUD 1945.
Kata dia, LP Ma'arif mulai beroperasi di bidang pendidikan jauh sebelum kemerdekaan. Saat ini lembaga tersebut menaungi sekitar 21.000 sekolah dan madrasah di seluruh Indonesia, sebagian besar ada di daerah 3T atau terdepan, terpencil, dan tertinggal.
Pihaknya menetapkan biaya pendidikan yang harus ditanggung murid dengan angka yang cukup kecil.
"Jangankan menghitung komponen margin dan pengembalian modal, dapat menggaji tenaga didik kependidikan dengan layak saja merupakan hal yang berat. Karena hal itu akan sangat memberatkan orang tua murid," katanya dalam keterangan resmi, Sabtu (12/6/2021).
Dia menuturkan bahwa situasi itu menyebabkan gaji tenaga didik kependidikan di lingkungan LP Ma'arif NU masih jauh dari layak bahkan jauh di baah UMK. Padahal tugas, posisi dan fungsi guru kata dia, berada di atas buruh.
"Saya tak habis mengerti sebenarnya apa yang ada di mind set para pengambil kebijakan di negara kita dengan rencana itu. Setelah gagal memasukkan pendidikan dalam rezim bisnis saat menyusun RUU Omnibus Law, kini pemerintah akan mengenakan pajak bagi lembaga pendidikan," terangnya.
Lebih lanjut, apabila pemerintah memaksakan untuk mengenakan pajak pada lembaga pendidikan, LP Ma'arif sebagai bagian dari Jam'iyyah NU terikat dengan keputusan Munas dan Konbes NU 2012, tentang kewajiban membayar pajak.
Salah satu pembahasan Munas adalah soal wajib tidaknya rakyat membayar pajak ketika pajak yang seharusnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat justru dikorupsi.
"NU akan selalu bersama pemerintah, selama pemerintah bersama rakyat. Sebaliknya, kalau pemerintah meninggalkan rakyat maka NU akan memberikan kritik sebagai masukan," tuturnya.
Sebelumnya, pemerintah berencana membuat rezim pungutan yang adil, yakni mempersiapkan pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) mulai dari sembako hingga pendidikan. Akan tetapi tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Pemerintah berkomitmen melakukan penyesuaian-penyesuaian tidak akan terjadi di masa pandemi tapi tunggu saat ekonomi pulih. Sekarang kita siapkan semuanya,” katanya Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo melalui diskusi virtual, Jumat (11/6/2021).
Yustinus menjelaskan bahwa saat ini ada 15 negara yang menggunakan instrumen PPN dalam merespons Covid-19 untuk mengoptimalisasi peneriman sebagai bagian dari pergeseran kebijakan.
Akan tetapi, pemerintah tidak akan melakukannya selama kondisi ekonomi masih sulit. Anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih menjadi instrumen yang bekerja keras untuk membantu masyarakat terdampak pandemi.