Bisnis.com, JAKARTA - Belakangan ini, sinetron Suara Hati Istri: Zahra yang tayang di salah satu televisi swasta sukses menjadi buah bibir masyarakat. Sinetron tersebut dikecam lantaran alur ceritanya seolah-olah mendukung pernikahan anak.
Masyarakat makin resah setelah mengetahui aktris pemeran Zahra, tokoh utama di sinetron tersebut masih berusia 15 tahun. Zahra yang usianya 17 tahun diceritakan sebagai istri ketiga dari Tirta, seorang pria berusia 39 tahun.
Jelas-jelas hal tersebut menyalahi batas usia nikah yang ditetapkan dalam UU Perkawinan No. 16/2019. Dalam UU yang merevisi UU No. 1/1974 tentang Perkawinan itu disebutkan bahwa usia minimal laki-laki maupun perempuan untuk menikah adalah 19 tahun.
Terlepas dari kontroversinya, Suara Hati Istri: Zahra dinilai telah membuka mata masyarakat dan pemangku kepentingan terkait dengan persoalan pernikahan anak di Tanah Air. Walaupun mengalami penurunan dari tahun ke tahun, angka pernikahan anak di Indonesia dinilai masih cukup tinggi.
Menurut Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia Dini Widiastuti, perubahan usia minimum pernikahan untuk menekan angka pernikahan anak belum memberikan pengaruh signifikan. Pasalnya, masih ada celah berupa permohonan dispensasi yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan pernikahan anak.
“Dispensasi bisa menjadi celah kanalisasi dan legalisasi perkawinan anak jika tidak benar-benar diperketat hanya untuk keadaan sangat darurat dengan syarat yang ketat yakni disertai bukti pendukung dan perhatian kedua calon pengantin,” katanya.
Baca Juga
Dini mengungkapkan permohonan dispensasi untuk pernikahan anak mengalami kenaikan selama empat tahun terakhir. Bahkan, pada 2020 angkanya mencapai 64.211 atau naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2019 yang tercatat sebanyak 23.126 permohonan.
“[Sebanyak] 90 persen permohonan [yang diajukan] dikabulkan oleh pengadilan. Pandemi Covid-19 yang melahirkan permasalahan ekonomi bagi sebagian masyarakat ikut mendorong perkawinan anak di beberapa daerah,” ungkapnya.
Oleh karena itu, menurut Dini upaya pencegahan pernikahan anak perlu diikuti oleh upaya pembenahan persoalan pendidikan, kemiskinan, hingga peluang mengakses pekerjaan. Selain itu, dia juga menekankan pentingnya edukasi mengenai risiko pernikahan anak, khususnya melalui tokoh masyarakat setempat atau tokoh agama.
“Hal Ini juga harus dipikirkan solusinya agar tidak malah memicu perkawinan di bawah tangan,” tegasnya.
Ketua Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) Badriyah Fayumi mengatakan tokoh agama berperan penting dalam memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai dampak negatif dari pernikahan anak. Tentunya, penjelasan tersebut didasari oleh kaidah keilmuan dan agama yang selama ini seringkali disalah artikan oleh masyarakat.
“Tokoh masyarakat atau tokoh agama harus bisa menjelaskan sejauh mana mudharat dari pernikahan anak dibandingkan dengan manfaatnya. Tentu, mudharatnya jauh lebih besar. Itu harus dijawab secara tuntas menggunakan kaidah keilmuan dan agama. Masyarakat seringkali mengartikannya secara sepihak dan akhirnya menjadi salah persepsi,” tuturnya.
Selain itu, hal yang tak kalah penting adalah memikirkan nasib dari anak-anak yang sudah terlanjur menjadi korban pernikahan anak. Pasalnya, banyak dari mereka yang harus putus sekolah dan hak-hak dasarnya terenggut.
“Kedepannya, kita jangan bicara [pernikahan] anak lagi. Pendewasaan usia perkawinan adalah hal yang harus dilakukan. Usia minimum pernikahan baik perempuan maupun laki-laki menjadi 21 tahun. Tentunya disesuaikan dengan perspektif agama dan keilmuan,” tegasnya.
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan masyarakat perlu diedukasi bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Dia menilai saat ini masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa pernikahan hanya sebagai pelampiasan seksual atau upaya untuk menjauhi perzinahan semata.
Pernikahan anak sangatlah rentan terhadap gangguan kesehatan reproduksi, kematangan psikologis, kemapanan ekonomi, sosial, dan spiritual dari mereka yang melakukannya. Tentunya hal tersebut akan berpengaruh terhadap masa depan anak-anak mereka yang notabene adalah generasi penerus.
“Masak anak melahirkan anak, nanti main kelereng bareng, rebutan boneka dan balon,” selorohnya.
PERAN KUA
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan bahwa pihaknya melalui Kantor Urusan Agama (KUA) selama ini telah memberikan perhatian lebih terhadap upaya pernikahan anak. Dia menyebut seluruh jajaran KUA, khususnya penghulu dan penyuluh tak henti-hentinya mengedukasi masyarakat terkait dengan risiko pernikahan anak.
Lebih lanjut, Yaqut tak menampik bahwa pihaknya masih mengalami kesulitan untuk menghentikan kebiasaan sebagian masyarakat menikahkan anaknya terlalu dini. Terlebih jika anak-anak yang jadi mempelai sudah mendapatkan dispensasi dari pengadilan agama.
“Ini tantangannya bukan lagi pada petugas KUA yang menikahkan. Namun, tantangan itu berupa kebiasaan sebagian masyarakat yang memang ingin anaknya menikah lebih awal,” ujarnya belum lama in.
Tantangan lainnya menurut Yaqut adalah pernikahan siri yang notabene adalah pernikahan di bawah tangan. Tentunya bukan hal mudah bagi Kementerian Agama dan pihak terkait lainnya untuk mencegah upaya tersebut.
Sebelumnya, Menteri Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga menegaskan bahwa pernikahan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak yang melanggar hak asasi manusia (HAM). Selain itu, pernikahan anak juga berpotensi melanggengkan kemiskinan antargenerasi dan melahirkan anak yang stunting atau kurang gizi.