Bisnis.com, JAKARTA - Harmoni antara agama dan sains merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia. Tak salah jika Albert Einstein pernah berujar bahwa sains tanpa agama akan menjadi timpang, sebaliknya agama tanpa sains akan menyebabkan kebutaan.
"Science without religion is lame, religion without science is blind," begitu kalimat Albert Einstein yang masih populer hingga saat ini.
Terkait situasi pandemi saat ini, harmoni antara agama dan sains kembali menjadi hal yang tidak dapat diabaikan.
Itu sebabnya akademisi Monash University Australia Nadirsyah Hosen menegaskan pentingnya harmoni antara agama dan sains sebagai bekal untuk bangkit dari pandemi.
“Di tengah pandemi ini, yang membuat kita bertahan ini komunikasi, kita masih terus bisa survive. Kalau selama ini kita fokus hanya pada agama saja, kita umat Muslim Indonesia lupa mengantisipasi apa yang terjadi,” ungkap Nadirsyah, yang juga Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand (PCI NU ANZ).
Hal itu disampaikan Nadirsyah dalam pengajian diaspora Muslim Indonesia di Canberra Australia, Minggu, seperti dilaporkan Antara, Senin (3/5/2021).
Ia menilai umat Muslim harus memikirkan cara-cara baru agar bisa berkontribusi untuk dunia yang lebih luas.
Menurut Nadirsyah, diaspora Muslim Indonesia di berbagai belahan dunia harus berpikir, bergerak sekaligus berkontribusi untuk peradaban.
“Nah, kalau kita ingin menyalakan pelita, bagaimana kontribusi para cendekiawan Muslim, berpikirlah bagaimana menguasai akses. Ini yang harus kita pikirkan ke depan,” jelasnya.
Mantan Associate Professor di University of Wollongong Australia ini menegaskan pentingnya kesadaran untuk merespons disrupsi secara global.
“Kita lihat Amazon, bisa jualan buku dan banyak hal lain secara masif, meski mereka tidak menerbitkan buku satu pun. Ataupun gojek, mereka punya akses terhadap banyak pengendara motor. Mereka sediakan platformnya,” ungkapnya.
Nadirsyah mengajak Muslim untuk berpikir strategis.
“Ini hal-hal terbaru yang harus kita pikirkan. Jadi, jangan-jangan ke depan kita tidak boleh bangga lagi dengan kepemilikan, bangga dengan hafalan, bangga dengan punya kitab banyak. Tapi kalau akses kita diputus, maka kita akan habis,” ujarnya mengingatkan.
Lebih jauh, Nadirsyah mengajak diaspora Muslim Indonesia di manapun berada untuk mencipta dan membangun akses, khususnya dalam bidang teknologi dan informasi.
“Sekarang siapa yang pegang akses, siapa yang menyediakan akses atas platform? Siapa yang merawat akses, dia yang menguasai dunia. Jadi, yang remang-remang hanya akan mendapatkan sisa-sisa dari peradaban dunia, tidak akan bisa bersaing,” tegasnya.
Guru besar di Fakultas Hukum Monash University Australia itu juga menyampaikan pentingnya umat Muslim menganalisa pandemi dan mengambil pelajaran penting.
“Kesempatan besar sekarang ini, peradaban Barat juga collapse akibat pandemi. Apa yang bisa kita berikan? Pendekatan tradisi pesantren, yakni al-muhafadzah ala al-qadimi as-shalih, kita bisa melihat ke belakang," kata penulis puluhan buku bidang hukum dan syariah itu.
Ia kemudian mengutip sebuah hasil riset yang dilakukan akademisi Yahudi Yaron Ayalon, yang menulis buku Natural Disaster in the Ottoman Empire.
Menurut Nadirsyah riset itu menuturkan perbedaan cara masyarakat Eropa yang sentralistik dan dipengaruhi gereja dengan masyarakat Muslim Dinasti Mamluk di Mesir yang otoritas keagamaannya tidak dimiliki oleh khalifah sehingga masyarakat tidak terstruktur dalam menghadapi wabah hitam atau black death.
Merujuk pada kisah itu, tambahnya, umat Muslim pada saat ini berpeluang untuk mengambil kontribusi peradaban. “Ternyata fleksibilitas atau kelenturan umat Muslim di abad 14 itu, menjadi daya tahan tersendiri di saat terkena pandemi pada saat itu."
Ia mengatakan dalam konteks masa kini, struktur masyarakat yang lentur itu merupakan kombinasi antara berjam’iyyah (berorganisasi) dan berjamaah.
“Maka, kalangan yang fleksibel dengan mempertahankan jam’iyyah dan terus merawat jamaah, akan berpotensi lolos berpotensi menghadapi pandemi, baik dulu maupun sekarang,” ujarnya.