Bisnis.com, JAKARTA – India mulai kehabisan vaksin Covid-19 setelah adanya gelombang kedua wabah yang menghantam negara tersebut.
Hal itu menyulitkan rencana Perdana Menteri Narendra Modi untuk menyuntikkan vaksin kepada para penduduknya ketika dihadang krisis fasilitas layanan kesehatan terburuk di dunia.
Di Mumbai, vaksinasi pada Senin (26/4/2021) dimulai lebih lamban dari biasanya, lantaran jumlah vaksin yang tersedia menipis. Mumbai hanya punya cukup pasokan untuk vaksinasi tiga hari dan akan diprioritaskan bagi mereka yang akan mendapat dosis kedua.
Keterbatasan pasokan ini kemungkinan akan makin parah pada 1 Mei mendatang, ketika Pemerintah India berencana memperbolehkan semua orang di atas 18 tahun sampai 45 tahun untuk mendapat suntikan.
Saat ini, prioritas masih diberikan kepada warga berusia di atas 45 tahun.
India masih berjuang untuk bangkit, karena rumah sakitnya masih kewalahan kehabisan oksigen, sementara kasus baru Covid-19 terus meningkat menjadi sekitar 3,5 juta sejak pertengahan April.
Baca Juga
Produksi vaksin Covid-19 juga terbebani oleh penimbunan bahan baku esensial tertentu di Amerika Serikat (AS).
Presiden AS Joe Biden melalui Twitter mengatakan, bahwa bantuan sedang diluncurkan. Juru Bicara Penasihat Keamanan Nasional AS Emily Horne mengatakan bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi vaksin Covishield, buatan Oxford University dan AstraZeneca Plc di India, akan segera tersedia kembali.
Rekor Kasus
India kembali melaporkan rekor kasus Covid-19 harian dengan 352.991 infeksi baru dan 2.812 kematian dalam 24 jam sampai Senin (26/4/2021), belum termasuk yang tidak terdata kemungkinan jumlahnya lebih banyak.
Direktur Center for Disease Dynamics, Economics & Policy di New Delhi Ramanan Laxminarayan mengatakan, tren kenaikan kasus ini diperkirakan akan terjadi selama sebulan ke depan.
“Proyeksi epidemiologis terakhir menyebut bahwa puncaknya belum akan tercapai dalam dua sampai tiga pekan ke depan secara nasional. Proyeksi yang digunakan memperkirakan puncak kasus hariannya bisa tiga sampai empat kali lipat dari yang ada sekarang,” kata Laxminarayan, dilansir Bloomberg, Selasa (27/4/2021).
Gelombang kedua wabah Covid-19 disebut Modi sebagai “badai” ini seperti menghapus keberhasilan penanganan Covid-19 di India sepanjang awal tahun ini.
Ketika India bahkan bisa mengekspor dan memberikan 60 juta dosis vaksinnya ke negara lain.
Ledakan kasus ini juga kembali mengancam perekonomian India tak bisa pulih setelah mengalami resesi tahun lalu karena memberlakukan lockdown.
Modi ingin kembali memberlakukan lockdown tahun ini, namun akan menyerahkan keputusan ke pemerintah daerah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan pembatasan penyebaran virus di daerah masing-masing
Lockdown
Dua kota, di Mumbai dan New Delhi sudah memberlakukan pembatasan ketat untuk mobilitas penduduknya. Lockdown tersebut akan diberlakukan hingga 2 Mei mendatang.
Sementara itu, di Maharashtra sudah mulai memperketat pembatasan mulai pekan lalu.
Lockdown akan membuat penduduknya makin sulit bepergian dan mengakses pusat vaksinasi. Hal ini menambah kesulitan untuk melancarkan program vaksinasi India.
Rumah Sakit Sanjay Gandhi di New Delhi misalnya, yang punya kapasitas penyuntikan sekitar 600 orang per hari, hanya mencatat 400 orang yang hadir.
Pusat Vaksin ‘jumbo’ di Bandra Kurla Complex, Mumbai juga harus menunda vaksinasi pada Minggu (25/4/2021) karena kehabisan stok vaksin.
“Namun kami sudah mulai lagi sejak pagi hari ini,” ungkap kepala fasilitas pusat vaksinasi Rajesh Dere. Dia menambahkan, setidaknya sudah 200.000 orang disuntik vaksin di pusat vaksinasi tersebut.
Pada Senin (26/4/2021), Kepala World Trade Organization (WHO) Ngozi Okonjo-Iweala, juga telah memperingatkan negara-negara kaya untuk mengekpor vaksinnya ke negara miskin untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal, sehingga seluruh dunia bisa segera menyelesaikan pandemi.
“Kekurangan pasokan vaksin di India adalah peringatan awal. Ini harusnya jadi pengingat bagi para pembuat kebijakan untuk membuat perencanaan yang lebih baik dan meluruskan segala tantangan yang ada,” ujar Chandrakant Lahariya, pakar ebijakan Publik dan Kesehatan di New Delhi.