Bisnis.com, JAKARTA – "Tahun 2021, mudik ditiadakan, berlaku untuk ASN, TNI-Polri, karyawan BUMN, karyawan swasta, pekerja mandiri, dan seluruh masyarakat," tegas Menko PMK Muhadjir Effendy dalam jumpa pers
virtual, Jumat (26/3).
Warga dilarang mudik mulai 6 Mei hingga 17 Mei 2021. Larangan ini diperuntukkan bagi semua kalangan masyarakat, termasuk juga aparatur negara. Pelarangan mudik ini merupakan bentuk upaya pemerintah menekan penyebaran Covid-19.
Bagaimana agar pandemi ini bisa cepat berlalu? Supaya semua yang serba pembatasan atau dibatasi tidak lagi membelenggu kehidupan sehari-hari?
Petaka dunia sebenarnya sudah kerap terjadi, termasuk yang dipicu oleh penyakit.
Salah satu yang membuat wajah dunia berubah total pernah menyerang umat manusia pada abad 14. Ketika wabah itu datang dengan cepatnya, segala akal budi dan kepandaian manusia seolah tak ada artinya. Wabah itu merebak dengan kecepatan luar biasa dan teramat mengerikan.
Akibat yang ditinggalkan sungguh tidak terkira. Gejala penyakit itu berbeda dengan yang dialami orang-orang Asia. Di sana, darah yang menetes dari hidung merupakan pertanda si penderita sudah dekat ajalnya.
Gejala awal yang terlihat di sini adalah munculnya berjolan di sela paha atau ketiak. Ada yang sebesar telur dan juga yang mirip apel. Belakangan ciri gejala penyakit itu berubah lagi.
Banyak penderita menemukan bercak hitam dan memar-memar di lengan, paha dan bagian tubuh lainnya. Resep dan obat-obatan yang diberikan para tabib untuk menangkal penyakit itu terbukti percuma dan sia-sia.
Pada umumnya maut akan datang dalam tempo tiga hari sejak munculnya gejala dini seperti yang digambarkan tadi.
Gambaran di atas adalah sebuah ‘kiamat kecil’ yang mengubah dunia. Daron Acemoglu dan James A. Robinson mengupasnya secara panjang lebar dalam buku mereka berjudul Why Nations Fail. The Origin of Powers, Prosperity, and Poverty rilisan 2012.
Kedua pakar tersebut mengutip Giovanni Boccaccio, penulis Italia, yang menyaksikan langsung keganasan wabah The Black Death (Kematian Hitam) di kota Florence pada sekitar tahun 1346—1348.
Pandemi yang disebabkan oleh kutu yang hidup di tubuh tikus itu berasal dari China dan ditularkan oleh para saudagar yang menyusuri Jalur Sutra, urat nadi perdagangan terpenting di kawasan Trans-Asia.
Dan pada 1346 gelombang serangan Black Death sudah mencapai pelabuhan kota Tana, yang terletak di hulu Sungai Don di tepi Laut Hitam. Rombongan pedagang yang berasal dari Geno tampaknya ditumpangi oleh tikus-tikus yang dalam sekejap menyebarkan kutu-kutu pembawa wabah mematikan ke seluruh penjuru kota Tana.
Akhirnya semua kawasan Mediterania tak luput dari serangannya. Memasuki 1347 gelombang wabah sudah menerjang Konstantinopel di Turki. Pada musim semi 1348, Black Death meneror Prancis dan Afrika Utara hingga mencapai Italia.
Sungguh mematikan. Pagebluk itu telah memakan separuh populasi di daerah yang diserangnya. Boccaccio pun sukses menggambarkan kisah pilu tersebut di Florence.
Kepanikan merebak sampai ke Inggris. Tak mau dianggap telat bertindak, Raja Edward III pun memerintahkan Uskup Agung Canterbury menggelar doa bersama.
Sejumlah uskup juga menulis maklumat yang harus dibacakan para pater di gereja untuk menyiapkan umat menghadapi petaka yang sudah nampak di depan mata.
Namun kondisi di lapangan bertambah parah. Tak terbendung lagi, wabah pes pun menyerang dengan cepat dan memakan korban separuh dari total populasi bangsa Inggris.
Menghadapi petaka yang demikian keji, sebagian orang lari dari kenyataan dengan mengkonsumsi minuman keras dan mereguk sisa-sisa kenikmatan hidup sepuas hati. Pendeknya, memuaskan hasrat duniawi habis-habisan selagi masih bernyawa.
Dan ini, kata Boccaccio, menjelaskan mengapa kaum perempuan yang berhasil sembuh dari pandemi Black Death akhirnya tidak sealim sebelumnya.
Dalam pandangan kedua pakar tersebut, wabah Black Death merupakan contoh nyata dari sebuah episode sejarah yang menentukan. Diwarnai oleh berbagai peristiwa atau kombinasi dari sejumlah faktor yang merontokkan ekuilibrium politik-ekonomi suatu bangsa.
Hari ini pandemi Covid-19 pun masih merajalela. Menerkam mereka yang lengah dan lemah secara medis. Ekonomi dunia dibuat limbung berkepanjangan dengan segala akibatnya yang masih terasa hingga saat ini. Krisis meluas.
Setiap negara sibuk menggelontorkan stimulus untuk menyelamatkan hajat hidup anak bangsa. Namun korban tetap tak terhindarkan, baik dari sisi kesehatan, ekonomi-bisnis, dan sosial kemasyarakatan.
Tak beda dengan petaka dunia ketika diserang Black Death, hantaman Covid-19 kali ini juga merupakan, meminjam istilah Acemoglu dan Robinson, contoh nyata dari sebuah episode sejarah yang menentukan.