Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah dinilai perlu memperjelas definisi konten negatif yang tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 5/2020.
Karena peraturan ini melarang jenis konten tertentu, namun tidak memberikan definisi yang jelas, terutama untuk konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
Tanpa definisi jelas untuk konten yang dilarang, tugas untuk menyaring dan memoderasi konten pada platform Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang sejalan dengan peraturan pemerintah menjadi semakin rumit.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan mengatakan definisi yang tidak jelas tersebut berisiko menyebabkan PSE terlalu berhati-hati hingga memblokir konten secara berlebihan karena ragu akan legalitas konten tersebut.
Permenkominfo No. 5/2020 juga menyatakan bahwa PSE dapat dibebaskan dari tanggung jawab hukum atas konten yang dilarang jika mereka mengelola sistem manajemen informasi elektronik dan platform pelaporan, serta memenuhi persyaratan moderasi konten yang memuaskan seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo.
Begitu ada laporan munculnya konten yang dilarang pada platform mereka, PSE harus menghapusnya dalam waktu 24 jam, atau 4 jam ketika dinilai mendesak, seperti pornografi anak, terorisme, atau konten yang dianggap bisa menyebabkan keresahan di tengah masyarakat. Dengan tidak jelasnya definisi konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum, maka kemungkinan waktunya tidak akan cukup untuk merespons permohonan penghapusan,"
Baca Juga
“Pembebasan PSE terkait User Generated Content (UGC) ini masih membingungkan karena disebutkan bahwa PSE lingkup privat berbasis UGC 'dapat dibebaskan' dari liabilitas hukum setelah mereka memenuhi semua persyaratan moderasi konten," ujar Pingkan.
Dia menilai pernyataan tersebut menunjukkan bahwa PSE lingkup privat masih bisa dianggap bertanggung jawab bahkan setelah mereka sudah memenuhi semua persyaratan.
"Pasal 11 harus direvisi dan dengan jelas menyatakan bahwa PSE Lingkup Privat “akan dibebaskan” dari tanggung jawab, alih-alih 'dapat dibebaskan',” tegas Pingkan melalui keterangan resmi yang diterima oleh Bisnis pada Minggu (25/4/2021).
Di Indonesia, kata Pingkan, penyedia layanan online secara resmi dikategorikan sebagai PSE yang bisa berupa perorangan, milik pemerintah, usaha terdaftar, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau menyelenggarakan sistem elektronik secara individu atau kolektif untuk pengguna mereka.
Mereka memenuhi kebutuhan mereka sendiri atau juga kebutuhan pihak lain. Pihak penyelenggara menjadi host, menentukan lokasi, dan mencari UGC, kemudian memfasilitasi distribusinya. Lebih lanjutnya, rangkuman kebijakan ini akan berfokus pada peraturan yang berlaku untuk PSE lingkup privat.
UGC terdiri dari gambar, video, komentar, penawaran produk, konten dalam aplikasi pengiriman pesan, dan konten lain yang secara terus menerus dibuat oleh pengguna, yaitu pelanggan platform media sosial, atau pedagang pada sebuah platform e-commerce. Meluasnya penyebaran UGC telah berkontribusi terhadap lanskap ekonomi digital di Indonesia.
Banyaknya jumlah orang yang menggunakan platform UGC menggambarkan pentingnya UGC di Indonesia. The Digital 2020 Report menyatakan bahwa ada sekitar 160 juta pengguna media sosial di Indonesia dan 95 persen dari mereka aktif berkontribusi di dalamnya berdasarkan data dari Hootsuite & We Are Social pada 2020.
Untuk memperjelas definisi konten negatif, penelitian CIPS merekomendasikan penggunaan pengaturan bersama atau koregulasi dalam proses formulasi regulasi untuk memberikan opsi untuk meningkatkan efektivitas pencegahan konten yang dilarang.
Pengaturan bersama adalah pendekatan regulasi yang berfokus pada dialog antara pemerintah dan swasta serta pembagian tanggung jawab antara pemerintah dan non-pemerintah secara luas.
Cara ini berfokus pada kolaborasi untuk pembuatan, adopsi, pelaksanaan, dan evolusi kebijakan serta regulasi. Kolaborasi ini memfasilitasi pelaksanaan regulasi dan juga mempertimbangkan kepentingan sektor swasta, atau dengan kata lain memberikan ruang dan dorongan untuk inovasi dan pertumbuhan.
“Dalam sebuah ekosistem pengaturan bersama, pemerintah membuat aturan main umum, misalnya mengatur persyaratan penghapusan konten terberat untuk serangan teroris terencana atau pelecehan anak.
Di saat yang sama, PSE lingkup privat akan memformulasikan kode etik atau aturan main yang menentukan pengaturan rinci tentang tipe konten atau perilaku apa yang diterima di platform mereka,” jelas Pingkan.
Pembagian tanggung jawab ini membuat peraturan lebih fleksibel dalam merespons lanskap digital yang terus berubah seiring dengan munculnya model bisnis dan jasa yang baru.
Pengaturan bersama bisa berdampak pada kenaikan tingkat kepatuhan yang tinggi mengingat sektor swasta bekerja bersama dengan pemerintah dengan tujuan memperbaiki kinerja industri secara luas.