Bisnis.com, JAKARTA – AirAsia Group mencatatkan kerugian pada kuartal akhir tahun lalu seiring dengan depresiasi dan dampak lockdown.
Kendati demikian, perusahaan maskapai bujet Malaysia tersebut optimistis mampu mencapai pemulihan penuh dalam waktu 2 tahun ke depan.
Dikutip dari CNA, Selasa (30/3/2021), kerugian maskapai tersebut melebar menjadi RM2,44 miliar (US$590,72) versus RM384,4 juta pada periode yang sama tahun lalu.
Pendapatan juga tercatat merosot 92 persen menjadi RM267,4 juta sejalan dengan menyusutnya kapasitas penumpang hingga 88 persen dibandingkan tahun lalu. Penurunan kapasitas tersebut sebagian besar terjadi di Malaysia, Filipina, dan Indonesia karena perbatasan internasional masih ditutup.
“Faktor utama yang menyumbangkan kerugian pada periode tersebut adalah depresiasi [aset hak pakai] dan bunga atas kewajiban sewa senilai 654,2 juta ringgit,” jelas maskapai tersebut.
Neraca keuangan juga mencatat adanya lonjakan penurunan nilai piutang dari afiliasinya yakni AirAsia X akibat restrukturisasi dan AirAsia Japan yang dalam proses kebangkrutan.
Baca Juga
Kinerja keuangan kuartal tersebut memperhitungkan penyesuaian, kerugian pertukaran bahan bakar, dan beban kebangkrutan AirAsia Japan pada Oktober lalu.
Selain itu, kewajiban sewa mencapai RM12,7 miliar per 31 Desember tahun lalu, termasuk sewa pesawat yang ditangguhkan sekitar RM1,5 miliar.
Utang AirAsia Group juga tercatat melonjak hampir tiga kali lipat menjadi RM1,28 miliar pada 31 Desember 2020 dari RM428,9 juta, kebanyakan akibat dari
AirAsia Group melaporkan penurunan penumpang hingga 90 persen dibandingkan 2019 sehingga tingkat keterisian pesawat menjadi 67 persen.
Dalam kesempatan yang terpisah, Chief Executive AirAsia Group Tony Fernandes menyatakan bahwa perusahaannya optimistis dapat mencapai pemulihan penuh dalam 2 tahun ke depan. Dia pun meyakini perjalanan luar negeri akan kembli pulih pada semester kedua tahun ini sejalan dengan program vaksinasi massal.