Bisnis.com, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Omar Sharif Hiariej mengatakan, perkembangan hukum pidana yang massif membuat sejumlah negara menyesuaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)-nya dengan kebutuhan di negaranya masing-masing.
Baca Juga
Pasca Indonesia merdeka misalnya, terjadi ‘dekodifikasi’ terhadap KUHP, yakni mengeluarkan ‘kejahatan’ yang awalnya diatur oleh KUHP ke dalam undang-undang tersendiri atau yang lebih dikenal sebagai ‘UU yang bersifat Khusus’ atau sektoral.
“Contoh beberapa kejahatan jabatan dikeluarkan dari KUHP, lalu menjadi UU Tipikor. Kejahatan Pemilu dikeluarkan, lalu menjadi UU Pemilu,” kata Wamenkumham dikutip dari laman resmi BPHN, Selasa (23/3/2021).
Sejak dibahas pertama kali pada tahun 1964, draf Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang mengusung konsep rekodifikasi ini mengalami beberapa kali perubahan lantaran menyesuaikan dinamika dan perkembangan hukum pidana yang sangat pesat.
Eddy mengatakan bahwa pembaharuan RUU KUHP saat ini, antara Pemerintah dan DPR RI telah sepakat menyatakan RUU KUHP sebagai rekodifikasi, bukan kodifikasi.
Semangat rekodifikasi berupaya memasukkan kembali tindak kejahatan yang sebelumnya diatur melalui berbagai undang-undang secara sektoral ke dalam KUHP.
Selama 59 tahun, Tim Pemerintah untuk RUU KUHP telah melakukan konsolidasi dan sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang terkait dengan aspek pemidanaan.
“Tim melakukan kajian, ada lebih dari 200 ‘UU Sektoral’ dimasukan ke dalam RUU KUHP. Upaya rekodifikasi ini ditempuh sejak Seminar Hukum Nasional yang pertama tahun 1963 hingga saat ini,” kata Wamenkumham.
Sementara itu, Kepala BPHN Kemenkumham Benny Riyanto, mengatakan, setahun setelah Seminar Hukum Nasional tahun 1963, konsep draf RUU KUHP (Buku I) yang pertama berhasil disusun.
Draf tersebut terus berkembang hingga versi finalnya, yakni draf tahun 2015 yang dibahas bersama Pemerintah dan DPR RI secara intens selama empat tahun dan nyaris disahkan dalam Paripurna di DPR RI pada tahun 2019 yang lalu.
“RUU KUHP pertama kali disampaikan ke DPR tahun 2012 pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono namun belum sempat dibahas dan tahun 2015 Presiden Joko Widodo menyampaikan kembali ke DPR melalui Surat Presiden Nomor R-35/Pres/06/2015 tanggal 5 Juni 2015,” kata Kepala BPHN.
Meski belum berhasil disahkan pada tahun 2019, Pemerintah mengklaim DPR RI sangat mendukung agar RUU KUHP bisa segera disahkan menjadi undang-undang pada tahun ini melalui mekanisme Evaluasi Prolegnas Prioritas Tahun 2021.