Bisnis,.com, JAKARTA - Polri pekan ini meluncurkan polisi virtual dengan tujuan menangkal penyebaran konten atau unggahan di media sosial yang melanggar UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya berita palsu (hoaks) serta ujaran kebencian.
Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Raden Argo Yuwono, polisi virtual hadir sebagai bagian dari pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat di dunia maya agar bersih, sehat, dan produktif. Polisi virtual menjadi salah satu upaya Polri dalam memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak menyebar konten yang melanggar hukum.
Argo menjelaskan apabila ditemukan unggahan melanggar hukum di suatu akun media sosial, pihaknya akan memberikan peringatan melalui pesan pribadi (direct message/private message) kepada pemilik akun. Sebelum peringatan dikirimkan, terlebih dahulu dilakukan konsultasi dengan tim ahli yang terdiri dari ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE.
“Apabila ahli menyatakan bahwa ini merupakan pelanggaran pidana, baik penghinaan atau sebagainya. Maka, kemudian diajukan ke direktur siber [Polri] atau pejabat yang ditunjuk untuk memberikan pengesahan, kemudian virtual police alert dikirim secara pribadi ke akun yang bersangkutan,” katanya pada Rabu (24/2/2021).
Pada kesempatan yang sama, Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Slamet Uliandi mengungkapkan bahwa pihaknya telah memberikan 12 kali peringatan melalui pesan pribadi kepada akun-akun yang terindikasi mengunggah hoaks atau ujaran kebencian.
Mereka diminta untuk menghapus unggahan tersebut dalam waktu 1x24 jam. Apabila tidak digubris, akan dikirimkan peringatan yang kedua kalinya sebelum nantinya dilakukan pemanggilan untuk klarifikasi.
“Pertama edukasi, kemudian peringatan virtual, mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice, baru laporan polisi. Sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum [pidana],” tuturnya.
Slamet menambahkan pihaknya tidak akan menindak masyarakat yang mengkritik pemerintah lewat media sosial apabila dilakukan dengan santun dan beradab. Pihaknya hanya akan menindaklanjuti kritik yang dibumbui dengan hoaks atau ujaran kebencian.
Di sisi lain, kehadiran polisi virtual dinilai telah menimbulkan ketakutan baru di tengah masyarakat yang selama ini dibayang-bayangi oleh ancaman 'pasal karet' UU ITE.
Menurut Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto, kehadiran polisi virtual menimbulkan ketakutan baru lantaran polisi bisa hadir sewaktu-waktu di ruang privat digital masyarakat. Padahal, tanpa kehadiran polisi virtual masyarakat sudah was-was dengan ancaman UU ITE.
“Polisi virtual memberi ruang terlalu jauh bagi polisi masuk ke ranah privat warga. Urusan percakapan warga kini juga ikut dikurasi oleh polisi. Dengan demikian, tujuan menyehatkan ruang diskusi atau berdebat untuk menyampaikan isi pikirannya tentang satu kebijakan atau hal justru kian jauh dari harapan,” tuturnya kepada Bisnis, Kamis (25/2/2020).
Selain itu, polisi virtual juga dinilai meniadakan ruang pembelaan bagi masyarakat tentang unggahan mereka. Mereka seperti tidak diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan unggahan yang mungkin saja didasari oleh fakta dan tidak bermaksud mengobarkan kebencian.
“Polisi virtual mendahului proses peradilan sehingga hanya ada satu jawaban, patuh atau dihukum,” tegasnya.
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Kantor Hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar menyebut kehadiran polisi virtual makin mengurangi kebebasan berpendapat masyarakat di dunia maya. Menurutnya, bukan tidak mungkin nantinya polisi virtual akan mengawasi percakapan di ruang privat seperti grup tertutup atau bahkan percakapan antarindividu.
“Ini bahanya karena bukan tidak mungkin percakapan di grup tertutup atau percakapan pribadi yang notabene adalah ruang privat akan diawasi. Buktinya, percakapan pribadi di WhatsApp saja bisa jadi barang bukti kasus UU ITE. Tentunya ini ancaman dan akan mengurangi kebebasan,” katanya kepada Bisnis.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, menurut Haris sudah sering kepolisian menerobos aturan yang mereka siapkan sebagai petunjuk pelaksanaan. Terlebih dalam hal ini, belum dijelaskan batasan atau parameter yang dipakai oleh polisi virtual untuk melakukan penindakan.
EDUKASI
Sementara itu, Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Dahlian Persadha menilai hadirnya polisi virtual cukup efektif untuk mengatasi berbagai polemik yang ditimbulkan oleh UU ITE. Terutama masyarakat yang saling melaporkan satu sama lain memanfaatkan ketentuan yang ada di UU ITE.
“Harapannya tidak ada pengekangan yang terjadi di dunia maya mengenai kebebasan berpendapat oleh masyarakat, hanya akun - akun yang melanggar hukum dan pidana saja yang diberikan peringatan. Pada akhirnya kembali lagi masyarakat yang bisa menilai dan mengevaluasi tugas dari polisi virtual ini,” katanya kepada Bisnis.
Kedepannya, pendekatan kultural berupa pendidikan dengan memasukkan kurikulum berkehidupan di ruang siber harus lebih diutamakan.
Selain itu, yang tak kalah penting edukasi bagi masyarakat berusia 50 tahun keatas. Pasalnya, mereka mudah sekali menjadi target operasi unggahan hoaks dan ujaran kebencian.
“Bukan tanpa sebab karena generasi baby boomer ini memang bukan native digital, tidak hidup dan besar dalam transisi kehidupan digital. Jadi mereka harus juga mendapatkan perhatian dan edukasi dari negara,” tuturnya.