Bisnis.com, JAKARTA – Politik di Myanmar, tetangga Indonesia di Asean, memanas lagi menyusul kudeta militer di negara itu pada awal bulan ini. Selalu menarik ditelisik, kenapa pihak militer sampai melakukan kudeta yang mengakhiri supremasi kepemimpinan sipil yang lazim berlaku luas di negara-negara demokrasi modern.
Pihak militer Myanmar mengklaim bahwa kemenangan hasil pemilu di negara itu sebagai penipuan dan menuntut pemungutan suara ulang. Sang pemenang adalah Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, ikon demokrasi negara itu sejak 1990-an.
Pihak militer pun menerapkan keadaan darurat selama setahun. Suara komisi pemilihan umum setempat yang mengatakan tak ditemukan bukti kecurangan, tidak digubris.
Alhasil, untuk kesekian kalinya militer Myanmar mengambilalih supremasi politik dari tangan sipil dengan alasan ‘menyelamatkan negara demi tegaknya demokrasi yang senafas dengan aspirasi rakyat’.
Banyak sudut pandang yang dapat dipakai untuk melihat fenomena tersebut, khususnya yang menyangkut hubungan sipil-militer. Kebanyakan orang memang berpikir mengenai relasi ini hanya terbatas pada aspek kudeta semata.
Artinya, jika terjadi kudeta maka hubungan sipil-militer di suatu negara berarti buruk. Jika tidak ada kudeta, bisa dianggap baik. Apakah memang demikian sederhana relasi antar keduanya?
Dalam karyanya yang berjudul The Soldier and The State, Samuel P. Huntington, menegaskan bahwa persoalan di dalam negara-negara modern bukan pemberontakan bersenjata tetapi hubungan antara tentara dan politisi. Sebuah negara bisa jadi memiliki hubungan sipil-militer yang buruk tanpa adanya ancaman kudeta.
Beberapa analisis berpijak pada seberapa jauh pengaruh militer di luar wilayah isu-isu ketentaraan sebagai ukuran dalam melihat relasi kedua institusi tersebut. Dengan indikator ini, hubungan sipil-militer yang baik terbangun manakala perhatian militer hanya terfokus pada masalah yang menyangkut institusinya saja.
Namun jangan lupa, kerap kali militer menjalankan fungsi luarnya atas permintaan pihak sipil. Mengemuka pula pemikiran bahwa pengaruh militer yang overdosis terhadap diskursus kebijakan nasional merupakan problem potensial.
Di sisi lain, kuat pula pandangan pihak yang mengatakan bahwa secara prinsip sebenarnya tidak ada yang salah mengenai partisipasi militer dalam diskursus masalah nasional yang penting sepanjang tentara memang memiliki keahlian dan kepentingan substansial.
Saat ini Suu Kyi dikenakan status tahanan rumah bersama sejumlah pentolan NLD lainnya. Kekuasaan di Myanmar kini diserahkan kepada panglima tertinggi, Min Aung Hlaing, sosok yang selama ini memiliki pengaruh politik signifikan.
Tokoh ini berhasil mempertahankan kekuatan Tatmadaw (militer Myanmar) meski saat negara itu dalam transisi menuju demokrasi.
Seperti dikatakan Michael C. Desch (1999), dalam dunia yang ideal tentu saja tidak akan pernah ada ancaman kudeta. Militer akan selalu berada dalam batas-batas dunianya dan hanya memberikan kontribusi konstruktif bagi diskursus kebijakan nasional.
Dalam relasi yang demikian, menurut dia, tidak banyak terjadi konflik antara sipil dan militer. Sebaliknya tumbuh sikap saling menghormati yang akan menjadi modal penting dalam melahirkan kebijakan nasional yang efektif.
Namun dalam dunia nyata, dasar bagi demokrasi yang maju adalah adanya kontrol sipil. “[Yaitu] apakah para pemimpin sipil dapat diandalkan untuk membuat militer mau melakukan apa yang mereka inginkan,” tegas Desch.
Pakar institusi kemiliteran tersebut menambahkan bahwa indikator paling baik dalam kondisi kontrol sipil adalah siapa yang lebih dominan ketika terjadi perbedaan pilihan antara pihak sipil dan militer.
Bila pihak yang lebih kuat adalah militer maka ada persoalan. Untuk menentukan apakah militer memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan politik, harus terlebih dulu mengindentifikasi sejumlah isu yang dipertentangkan oleh kedua pihak tersebut. “Dan memperlihatkan siapa yang lebih kuat dalam pertentangan itu.”
Dari fakta yang ada, militer Myanmar telah merebut kekuasaan atas sipil. Sebagai catatan, militer negara itu juga pernah berkuasa begitu lama ketika Ne Win memimpin kudeta pada 2 Maret 1962 dan bertahan hingga 26 tahun sesudahnya.
Pada 1990 penguasa militer mencoba ‘mengendurkan’ cengkeraman politiknya dengan menggelar pemilu. Hasilnya, NLD—dengan kekuatan Suu Kyi di dalamnya—tampil sebagai pemenang mutlak, mengalahkan Partai Persatuan Nasional yang mewakili pihak penguasa.
Melihat fenomena mengejutkan itu, celah demokrasi ditutup lagi. Pihak militer pun kembali memegang komando politik praktis.
Dengan demikian, harapan Robert Dahl (1971) masih jauh dari kenyataan. “Lingkungan yang paling menguntungkan bagi persaingan politik akan terwujud apabila akses menuju ke kekerasan terhadap oposisi dan pemerintahan ditiadakan atau dicegah.”