Bisnis.com, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) memaparkan peran ke 13 manajer investasi yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korporasi dalam korupsi dana investasi milik PT Asuransi Jiwasraya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan bahwa ketiga belas manajer investasi itu telah bekerjasama dengan Joko Hartono Tirto selaku pihak terafiliasi dengan Heru Hidayat untuk membentuk produk reksa dana Jiwasraya.
"Mereka membentuk produk reksa dana khusus untuk PT AJS yang dalam pelaksanaan pengelolaan instrumen keuangan yang menjadi underlying reksa dana PT AJS dapat dikendalikan oleh Joko Hartono Tirto selaku pihak terafiliasi Heru Hidayat," kata Leonard dikutip Sabtu (20/2/2021).
Dua petinggi Jiwasraya yakni Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo kemudian menyetujui analisis subscripton reksa dana yang dikelola oleh para tersangka dalam Nota Intern Kantor Pusat (NIKP) yang disusun oleh Agustin Widhiastuti selaku Kepala Divisi Keuangan dan Investasi.
Meskipun menurut Leonard, setekah ditelisik, diketahui bahwa NIKP disusun secara formalitas dan tidak profesional, yang bertentangan dengan ketentuan. Apalagi, setelah itu mereka telah menyepakati dan melaksanakan pengelolaan transaksi pembelian dan penjualan instrumen keuangan yang menjadi underlying pada produk reksa dana Jiwasraya.
Pengelolaannya dilakukan oleh para manajer investasi, untuk dikendalikan oleh Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro melalui Joko Hartono Tirto, Pieter Rasiman dan Moudy Mangkey.
Baca Juga
"Mereka membeli saham-saham menjadi underlying reksa dana milik PT. AJS yang dikelola oleh para terdakwa merupakan saham-saham yang berisiko atau tidak likuid pada akhirnya tidak memberikan keuntungan investasi dan tidak dapat memenuhi kebutuhan likuiditas guna menunjang kegiatan operasional Jiwasraya," jelasnya.
Adapun berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Negara Atas Pengelolaan Keuangan dan Dana Investasi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero) Periode Tahun 2008 - 2018, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kerugian negara dari kasus tersebut mencapai Rp12,15 triliun.