Bisnis.com, JAKARTA - Program Vaksin Nusantara dilaporkan telah memasuki uji klinis tahap kedua. Vaksin Covid-19 ini merupakan upaya yang digagas eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan dikembangkan bersama Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi dan Universitas Diponegoro Semarang.
Upaya ini pun mendapat dukungan dari sejumlah pihak lantaran dinilai sebagai terobosan dan inovasi anak negeri. Politisi Partai Gerindras Sufmi Dasco Ahmad, misalnya, memberikan dukungan terhadap proses pengembangan Vaksin Nusantara tersebut.
Setali tiga uang, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga mengapresiasi upaya tersebut. Dia pun berharap proses pembuatan vaksin tersebut segera rampung dan siap digunakan.
Namun, program vaksin tersebut mendapatkan kritikan dari sejumlah pakar kesehatan masyarakat. Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pengurus Besar IDI (Satgas Covid-19 PB IDI) Profesor Zubairi Djoerban menjadi salah satu sosok yang mengkritisi upaya tersebut.
Vaksin nusantara diklaim menciptakan antibodi seumur hidup. Mana buktinya?
— Zubairi Djoerban (@ProfesorZubairi) February 18, 2021
Data uji klinis fase duanya saja belum ada, apalagi fase tiga. Jadi, jika mau bicara klaim, tentu harus dengan data. Harus dengan evidence based medicine. Jangan membuat publik bingung.
Dia terutama menyoroti klaim yang menyatakan Vaksin Nusantara mampu menciptakan antibodi seumur hidup. "Mana buktinya? Data uji klinis fase duanya saja belum ada, apalagi fase tiga. Jadi, jika mau bicara klaim, tentu harus dengan data. Harus dengan evidence based medicine. Jangan membuat publik bingung," demikian tulisnya melalui akun Twitternya, @ProfesorZubairi, Kamis (18/2/2021) 19.13 WIB.
Guru Besar Universitas Indonesia ini mengatakan para ahli dunia pun belum bisa menjawab apakah antibodi yang tercipta dari vaksin Moderna, Sinovac dan Pfizer bisa bertahan berapa lama.
Baca Juga
"Tidak ada itu klaim yang mereka sampaikan bahwa antibodi dari vaksin-vaksin tersebut bisa bertahan enam bulan, satu tahun, apalagi seumur hidup."
Dia menegaskan mendukung upaya eradikasi, seperti vaksin. Namun, dia berharap buktinya dipublikasikan.
"Tapi perlihatkan kepada publik datanya. Biar tak gaduh. Vaksin Influenza saja bertahan kurang lebih setahun karena dipengaruhi mutasi virusnya. Dus, saya tak tahu motif klaim vaksin nusantara itu. Ada yang tahu?" tulisnya via Twitter.
Sementara itu, epidemiolog dari UI, Pandu Riono ragu dengan Vaksin Nusantara yang saat ini sedang dikembangkan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto untuk melawan virus SARS-CoV-2.
Menurutnya apa yang dikembangkan Dokter Terawan bukan sebuah vaksin Covid-19. Namun lebih kepada metode yang biasa dipakai mengobati kanker. "Itu memaksakan vaksin. Sebenarnya bukan vaksin tapi metode yang biasa dipakai mengobati kanker," ujar Pandu di Jakarta, Kamis (18/2/2021).
Dirinya memandang Terawan memaksakan keinginannya dalam pengembangan vaksin nusantara, dengan kewenangannya sebagai Menkes saat itu.
Riset Vaksin ini bermasalah sejak awalnya, hanya karena Terawan dg mengggunakan wewenangnya sebagai Menkes, memaksa harus dilakukan. Cerita yg beredar di @Kemenkes_RI bila tidak setuju, tentu disingkirkan. Apakah ada persetujuan dari @BPOM_RI untuk melaksanakan uji fase 1? https://t.co/damWhwu1cW
— Juru Wabah (@drpriono1) February 18, 2021
Pandu menilai, Balitbangkes dan Komite Etik tidak dapat berbuat banyak lantaran Terawan memanfaatkan posisinya sebagai menkes saat itu. "Persetujuan etiknya harus ditanya dari mana, kalau bukan dari Balitbangkes, itu pasti tidak benar. Dia menyalahgunakan wewenang sebagai Menkes," ujarnya.
Pandu menilai, klaim vaksin nusantara tak lepas dari rasa ambisius Terawan untuk merealisasikan proyek mercusuar yang terus diperjuangkan, bahkan hingga detik terakhir menjabat sebagai menteri.
Meski begitu, Pandu masih meyakini bahwa masyarakat tidak mudah percaya dengan klaim sepihak Terawan tersebut. Pihaknya berharap, pemerintah dapat bersikap tegas atas klaim sepihak Terawan itu, karena dapat menimbulkan kebingungan bagi masyarakat.