Bisnis.com, JAKARTA - Militer Myanmar memadamkan internet untuk malam kedua berturut-turut, sebagai bagian dari upaya untuk membendung protes nasional setelah merebut kekuasaan dari para pemimpin sipil pada 1 Februari lalu.
Dilansir Bloomberg, Selasa (16/2/2021), pemadaman internet terjadi tak lama setelah MRTV yang dikelola negara mengatakan panglima militer Min Aung Hlaing memberlakukan undang-undang telekomunikasi baru, dengan rincian akan diumumkan pada hari ini.
Pihak berwenang telah berusaha untuk mengganggu akses telepon dan internet untuk mencegah lonjakan pengunjuk rasa, sementara juga memberikan diri mereka kekuatan baru untuk mencegat komunikasi dan menahan orang-orang.
Protes berlanjut kemarin, melanggar larangan pertemuan publik yang diberlakukan setelah kudeta. Junta militer dijadwalkan untuk memberikan konferensi pers pertamanya sejak mengambil alih kekuasaan pada malam ini, sementara Duta Besar AS untuk Myanmar Thomas Vajda berencana menjadi tuan rumah balai kota virtual bagi warga AS di negara itu.
Para pemimpin militer Myanmar telah berjuang untuk menguasai jalan-jalan sejak menggulingkan pemerintah yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, yang partainya menang telak dalam pemilihan November tahun lalu. Suu Kyi telah mendesak 55 juta orang di negara itu untuk menentang langkah militer.
Suu Kyi dan para pemimpin politik lainnya termasuk di antara lebih dari 400 orang yang ditahan sejak kudeta, dan jumlah yang terus meningkat dari hari ke hari.
Baca Juga
Sementara pihak berwenang sebagian besar menghindari konfrontasi dengan pengunjuk rasa di kota-kota besar seperti Yangon yang telah mengabaikan larangan pertemuan publik, beberapa pengunjuk rasa telah terluka dalam tindakan kekerasan, termasuk seorang wanita yang ditembak di kepala.
Telenor Group, yang memiliki salah satu dari dua penyedia telekomunikasi yang sepenuhnya dimiliki asing di Myanmar, kemarin menyatakan bergabung dengan upaya menentang RUU keamanan siber yang diusulkan junta, dengan mengatakan hal itu memberi rezim kekuasaan yang luas termasuk kemampuan untuk campur tangan dalam kebebasan warga di dunia maya.
Asia Internet Coalition, yang anggotanya termasuk Facebook Inc., Apple Inc. dan Google, menyatakan pada 11 Februari bahwa RUU tersebut memungkinkan penyensoran yang belum pernah terjadi sebelumnya, melanggar privasi, dan akan secara signifikan merusak kebebasan berekspresi.
"Konsultasi yang sangat singkat dan terbatas saat ini tidak memungkinkan adanya dialog yang diperlukan tentang RUU Keamanan Siber yang diusulkan," kata Telenor dalam sebuah pernyataan.
Koalisi itu menyatakan prihatin bahwa RUU yang diusulkan tidak mengembangkan kerangka kerja peraturan dan hukum yang relevan untuk masa depan digital, juga tidak mempromosikan dan melindungi hak dan keselamatan digital.