Bisnis.com, JAKARTA - Para pemimpin militer Myanmar menolak tudingan kudeta terhadap upaya perebutan kekuasaan di negara itu belum lama ini. Dalam keterangannya, Kementerian Penerangan mengatakan keadaan darurat itu sesuai dengan konstitusi, tetapi disebut kudeta dan militer dijuluki junta atau rezim di media.
"Penggunaan yang tidak akurat bisa menjadi tindakan menghasut yang dapat menimbulkan keresahan sipil," kata Kementerian Penerangan dalam pernyataannya, dilansir Bloomberg, Minggu (14/2/2021).
Pada 1 Februari, militer menahan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin politik lainnya, mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan membatalkan kemenangan mutlak partainya pada pemilihan November lalu. Suu Kyi lalu mendesak 55 juta orang di negara itu untuk menentang langkah militer dan menyebutnya sebagai upaya untuk membawa bangsa kembali di bawah kediktatoran militer.
Pemerintah AS di bawah Presiden Joe Biden dengan cepat mengecam kudeta tersebut dan menerapkan sanksi terhadap para pemimpinnya. Ribuan pengunjuk rasa turun ke jalan menentang perintah militer, menuntut pembebasan para pemimpin politik termasuk Suu Kyi. Tentara menanggapi dengan menahan lebih banyak pembantunya.
Awal pekan ini, junta mengusulkan undang-undang keamanan siber yang dapat membuat pengguna media sosial didenda atau dipenjara karena postingan yang berisi informasi yang dinilai salah dan menyebabkan kepanikan publik.
Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Suu Kyi mengatakan undang-undang keamanan siber adalah upaya lain oleh junta untuk membatasi kebebasan berbicara dan akses ke internet.
Federasi Komputer Myanmar, organisasi teknologi sektor swasta terbesar di negara itu mengatakan mereka sangat tidak setuju dengan pemberlakuan undang-undang tersebut, dengan alasan kurangnya konsultasi publik dan waktu yang tidak cukup untuk memberikan masukan ahli kepada kementerian.
Setidaknya 120 perusahaan teknologi di Myanmar mengeluarkan pernyataan untuk mengecam undang-undang keamanan dunia maya, yang mereka katakan melanggar prinsip dasar hak digital, privasi, dan hak asasi manusia lainnya.
"Mengingat situasi politik yang kompleks saat ini, RUU pelacakan cepat rezim melanggar dasar-dasar Konstitusi dan tidak akan menciptakan nilai positif bagi masyarakat," kata kelompok perusahaan itu.