Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi 2020 telah berdampak pada tantangan yang dihadapi oleh diplomasi Indonesia di luar negeri. Diplomasi Indonesia terus mencatatkan capaian di tengah kondisi yang sulit.
Berdasarkan Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Rabu (6/1/2021), Kementerian Luar Negeri telah menetapkan tiga fokus utama semenjak pandemi menerpa dunia sejak awal 2020.
Tiga fokus utama tersebut terdiri atas upaya memperkuat perlindungan WNI, mendukung upaya mengatasi pandemi baik dari aspek kesehatan maupun dampak sosial dan ekonomi, dan ketiga kontribusi bagi perdamaian dan stabilitas dunia.
Beberapa capaian penting pada 2020 yang perlu diketahui di antaranya adalah pertama, tingginya fasilitas repatriasi yang dilayani perwakilan RI selama 2020 yang meningkat lebih dari dua kali lipat.
“Lebih dari 54.000 kasus ditangani. Angka ini meningkat lebih dari 100 persen dari tahun 2019. Lebih dari 172.000 telah direpatriasi, lebih dari 500.000 sembako telah diberikan, lebih dari 2.400 WNI yang terpapar Covid-19 di luar negeri didampingi.
Selain itu, sebanyak 17 WNI dibebaskan dari hukuman mati dan 4 sandera yang terlibat penculikan telah dibebaskan. Kementerian Luar Negeri juga telah membantu memperjuangkan Rp103,8 miliar hak finansial pekerja migran Indonesia.
Baca Juga
Kedua, PBB mengesahkan sebanyak empat resolusi yang diinisiasi Indonesia.
Ketiga resolusi di antaranya terkait dengan kesehatan adalah (1) Global Solidarity to Fight Covid-19, (2) Global Health and Foreign Policy: Strengthening Health Systems Resilience through Affordable Health Care for All. (3) International Cooperation to address Challenges faced by Seafarers as Result of the Covid-19 in Support Global Supply Chain.
Sidang Majelis Umum PBB secara konsensus mengesahkan resolusi mengenai anak buah kapal di masa pandemi dengan dukungan 71 negara anggota PBB pada 1 Desember 2020.
Selain itu, Indonesia berhasil memprakarsai Resolusi 2538 mengenai women in peacekeeping yang didukung oleh 97 negara. Ini menjadi resolusi pertama DK PBB yang secara khusus membahas peran pasukan perempuan dalam misi pemeliharaan perdamaian.
Ketiga, penguatan kemandirian industri kesehatan dalam negeri, terutama untuk APD dan vaksin.
Diplomasi bergerak sehingga sejumlah perusahaan Indonesia mendapatkan sertifikasi ISO 16603 dan ISO 16604 untuk bahan alat pelindung diri (APD) agar ke depan Indonesia bisa jadi pemasok APD dunia.
Selain itu, yang menjadi perhatian utama, diplomasi Indonesia telah berupaya membuka akses komitmen kerja sama vaksin baik bilateral maupun platform multilateral.
Indonesia telah menjalin kerja sama dengan China, Inggris, dan Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan vaksin Covid-19 di dalam negeri. Beberapa perusahaan seperti Sinovac, AstraZeneca, Novavax telah mencapai kesepakatan pembelian dengan sejumlah BUMN farmasi Indonesia.
“Prinsip vaksin sebagai public goods, akses setara, aman, dan harga terjangkau secara konsisten diusung Indonesia sejak awal pandemi,” ungkap Retno.
Khusus mengenai platform multilateral, Indonesia aktif mengamankan perolehan vaksin hingga 20 persen penduduk melalui COVAX AMC. Indonesia juga aktif berkontribusi memperkuat ketersediaan vaksin melalui keanggotaan Indonesia dalam CEPI Investors Council dan potensi kemitraan PT Bio Farma (Persero) - CEPI untuk manufacturing vaksin global.
Keempat, membangun kerja sama untuk akses masuk ke sejumlah negara bagi kalangan bisnis dan pekerja esensial.
Diplomasi Indonesia telah berhasil mendorong aktivasi kembali ekonomi tanpa mengorbankan protokol kesehatan melalui travel corridor arrangements (TCA) dengan Uni Emirat Arab (UEA), Korea Selatan, China, Singapura dan kerangka Asean.
Adapun, kesepakatan TCA dengan Jepang masih berlangsung. Sebagai catatan, saat ini sampai 14 Januari 2021 untuk sementara pembatasan masuknya WNA ke Indonesia terpaksa harus dilakukan.
Kelima, perluasan akses pasar dan integrasi ekonomi kawasan di tengah pandemi.
Berbagai upaya yang telah dilakukan Indonesia adalah mendorong implementasi Indonesia - Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), mendorong ratifikasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), Indonesia - European Free Trade Association (EFTA) CEPA, Indonesia - Korea CEPA, dan MoU untuk hambatan tarif atau Non Tariff Measures (NTM) pada produk esensial dalam Hanoi Plan of Action.
Selain itu, Indonesia aktif dalam menyelenggarakan konferensi virtual dengan asosiasi bisnis di luar negeri untuk memperluas pasar, terutama di pasar nontradisional.
Salah satu di antaranya adalah kawasan Amerika Latin dan Karibia melalui INALAC Forum.
Keenam, perpanjangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dari pemerintah AS untuk Indonesia.
GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk, yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974. Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada 1980. Perpanjangan ini memperlihatkan hubungan baik antara RI - AS.
Fasilitas perdagangan ini diyakini bakal memacu nilai perdagangan hingga US$60 miliar antara Indonesia - AS atau naik dua kali lipat.