Bisnis.com, JAKARTA - Peraturan Pemerintah No. 70/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitas dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak ditekan Presiden Joko Widodo pada 7 Desember 2020.
PP Nomor 70/2020 itu adalah aturan turunan dari UU No. 17/2016 tentang Penetapan peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak. Regulasi itu mengatur berbagai cara mengenai pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitas, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Terkait hal itu, Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu membagikan sebuah tautan berisi catatan kritis dari ICJR pada 2016 soal wacana hukuman tersebut.
"Ini kajian ICJR di 2016 ketika kami menolak kebiri, banyak momen penting, banyak dokter nolak krn mereka percaya ini tak efektif, korban? Apa lagi, pemerintah mikirnya pelaku doang, korban nunggu, tpi belagak keren krn kebiri ini, populis," tulisnya via akun Twitter, @erasmus70, (3/1/2021) malam.
Dalam keterangan resmi pada 2016 itu, ICJR menegaskan bahwa jika pemberian hukuman kebiri diwujudkan, maka akan terjadi pertentangan dengan asas-asas yang berlaku dalam pemidanaan bagi pelaku serta bertentangan juga dengan jenis-jenis pidana yang dianut oleh KUHP.
Pasalnya, KUHP hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan. Di dalam dua jenis pidana tersebut, tidak ada satu pun yang mencantumkan pidana kebiri yang merupakan jenis corporal punishment atau penghukuman terhadap badan.
Baca Juga
"Bagi Aliansi 99, sebuah jaringan 99 organisasi masyarakat sipil organisasi non pemerintah di Indonesia yang menaruh perhatian pada anak-anak korban kejahatan kekerasan seksual, rencana tersebut telah ditolak dengan tegas. Wacana Perppu yang mengatur tentang Kebiri (chemical castration) bagi Pelaku Kejahatan Kekerasan Seksual Pada Anak (Perppu Kebiri) adalah langkah yang tidak lagi setia pada cita-cita mendemokratisasikan hukum pidana dan memberikan orientasi hak asasi manusia pada reformasi hukum pidana,” demikian tertulis pada keterangan resmi tersebut.
ICJR menilai upaya pemberatan hukuman itu hanya sebagai upaya 'balas dendam; atas nama kepentingan korban dengan lebih mentitikberatkan pemberatan pidana bagi pelaku daripada memikirkan penggulangan kejahatan kekerasan seksual dan jaminan pemulihan bagi korban.
Selain itu, ICJR saat itu mencatat bahwa draft Perppu tersebut sangat sulit untuk diakses. Proses perancangan yang serba tertutup itu dinilai membuktikan pemerintah tidak lagi berkomitmen untuk melibatkan partisipasi masyarakat dan mendorong upaya keterbukaan informasi yang dijamin dalam UUD 1945 dan UU Keterbukaan Informasi Publik.
"Mengkebiri pelaku bukan jalan keluar yang adil bagi korban dan juga tidak ada hubungan yang signifikan antara kebiri dan berkurangnya kejahatan seksual anak, tidak ada efek yang ilmiah, korban akan pulih dengan diberikannya hukuman tambahan kebiri kepada pelaku. Pemerintah telah terbuai seolah-oleh injeksi medis (chemical castration), akan menjadi jalan keluar 'magic' untuk memberikan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual dimasa depan."