Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gula-Gula 'Impor' Alat Covid-19: Penanganan Wabah atau Komersialisasi?

Sejak dibukanya keran impor, importasi alat penanganan covid-19 dikuasai oleh swasta.
Antrean calon penumpang yang akan melakukan tes Covid-19 di Farmalab Terminal 3 Bandara Soekarno-hatta pada Jumat (18/12/2020). Antrean mulai terlihat sejak pukul 11.00 WIB./Bisnis-Eusebio Chrysnamurti
Antrean calon penumpang yang akan melakukan tes Covid-19 di Farmalab Terminal 3 Bandara Soekarno-hatta pada Jumat (18/12/2020). Antrean mulai terlihat sejak pukul 11.00 WIB./Bisnis-Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Kewajiban menggunakan rapid test antigen (RDT-Ag) dan polymerase chain reaction atau PCR bagi para pelancong menuai banyak polemik.

Sontak, rencana ini mendapat tanggapan sinis dari sejumlah kalangan. Sinisme publik muncul karena harga PCR dan rapid test antigen yang kepalang mahal hingga potensi kongkalikong dalam bisnis alat pendeteksi covid-19 tersebut.

Dalam penelusuran yang dilakukan Bisnis, harga sekali rapid test antigen berkisar Rp.300.000 - Rp500.000. Sementara harga patokan resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk rapid test antigen maksimal Rp250.000 - Rp275.000.

"Batasan tarif pemeriksaan ini sebagai bentuk kepastian tarif pemeriksaan rapid test antigen," demikian kata Sekretaris Direktorat Jederal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya, Jumat (18/12/2020).

Padahal jika mengacu bahan paparan dari Menteri Luhut Binsar Pandjaitan, harga dasar rapid test antigen sebenarnya jauh di bawah patokan maksimal pemerintah maupun harga yang beredar di pasaran.

Untuk tes cepat antigen buatan Abbot Laboratories, misalnya, harga dasarnya hanya senilai Rp120.000-Rp160.000. Bahkan, untuk merek lain harga dasarnya hanya sebesar Rp80.000. Buatan SD BioSensor seharga Rp80.000 hingga Rp97.500, kemudian buatan Indec Rp98.000.

Menariknya meski diwajibkan, stok alat tes antigen itu masih berada di tangan swasta. Sebagai perbandingan dari total 2,79 juta alat antigen, angka ini dihitung terakhir tanggal 15 Desember 2020, sekitar 1,97 juta pieces RDT-Ag berada di tangan supplier

Sementara pemerintah yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kemenkes masing-masing hanya kebagian stok sebanyak 500.000 pieces dan 350.000 alat rapid test antigen. 

Kendati demikian, pemerintah mengklaim pemakaian rapid test antigen sudah sesuai dengan standar World Health Organization (WHO). Pemerintah dalam paparan itu menyebutkan bahwa sesuai kajian WHO penggunaan RDT-Ag bisa dilakukan untuk screening perjalanan dengan mempertimbangkan situasi community transmission dan prevalensi COVID-19 di Indonesia.

Karena mendapat lampu hijau dari otoritas kesehatan internasional, pemerintah bahkan mengklaim jika diperlukan Abbott akan menambah stok sampai dengan 1 juta pieces sebelum akhir tahun. "4 merek di atas telah mendapatkan nomor izin edar (NIE) dari Kemenkes. Di luar itu, belum mendapat izin edar," demikian bunyi paparan Kemenko Matirim dan Investasi. 

Dikuasai Swasta

Sejak pandemi ditetapkan, importasi alat penanganan covid-19 terus mengucur ke dalam negeri. Bisnis beberapa kali mengulas laporan yang menunjukkan derasnya arus impor barang covid-19. 

Menariknya, sebagai barang strategis, data per Jumat (18/12/2020) menunjukkan, penguasaan swasta terhadap importasi alat kebutuhan penanganan covid-19 mencapai 75,71 persen. 

Sementara, pemerintah hanya menguasai importasi sebanyak 16,74 persen. Sisanya atau 7,55 persen dikuasai oleh yayasan dan lembaga non profit. 

Adapun sebagian besar barang penanganan covid-19 itu didatangkan dari China dengan nilai importasi sebanyak US$425,42 juta atau setara Rp6 triliun (kurs Rp14.157 per dolar AS).

Khusus untuk PCR dan rapid test, total importasinya secara umum masing-masing sebanyak US$225,8 juta atau senilai Rp3,2 triliun dan US$155,5 juta atau setara Rp1,6 triliun.

Angka itu naik cukup signifikan dibandingkan dengan periode 9 Agustus 2020. Pasalnya saat itu importasi PCR hanya senilai US$123,3 juta atau setara Rp1,74 triliun. Sedangkan rapid test hanya senilai US$112,9 juta atau setara Rp1,6 triliun jika dihitung dengan kurs yang berlaku pekan lalu.

Menariknya, peringkat 10 besar importir alat penanganan covid-19 juga mengalami banyak pergeseran. Pada Agustus lalu, Bisnis mencatat, adanya perusahaan jasa keamanan yang mendapat rekomendasi mengimpor alat penanganan covid-19.

Namun pada Desember 2020, muncul tiga nama baru importir alat covid-19. Ketiganya adalah Jenny Cosmetics, Draeger Medical Indonesia dan Pusat Keuangan Kemhan. 

Dalam penulusuran Bisnis, PT Jenny Cosmetics adalah perusahaan yang bergerak dibidang kosmetik sejak tahun 1980. Dalam data yang diperoleh Bisnis, perusahaan itu merupakan importir alat covid-19 terbanyak setelah US$25,7 juta atau Rp363,8 miliar.

PT Jenny Cosmetics yang berlokasi di Bandengan Utara – Jakarta itu diketahui menciptakan berbagai varian produk kosmetik antara lain, Foundation, Make Up Kit, Eye Shadow, Lipstick, Eyeliner, Mascara dan lainnya. Dengan berbagai merek, di antaranya Peach dan Polabis.

Berdasarkan data perseroan yang tercatat Direktorat Jenderal Adminsitrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), modal dasar perusahaan ini sebanyak Rp12 miliar dengan modal yang ditempatkan senilai Rp3 miliar.

Adapun perusahaan ini dikendalikan oleh satu komisaris bernama Andy Lesmana dan satu direktur bernama Kartono. Keduanya memiliki saham senilai Rp1,5 miliar atau 1.500 lembar saham.

Bisnis telah berupaya mengonfirmasi perusahaan yang bersangkutan dengan mengirimkan pertanyaan melalui surat elektronik yang tercantum dalam laman resmi Jenny Cosmetics. Namun hingga berita ini diterbitkan belum ada jawaban resmi dari perusahaan tersebut.

Di sisi lain, nama baru yang  PT Drager Indonesia yang merupakan salah satu perusahaan dibidang teknologi dan medis. Perusahaan tersebut telah mengimpor alat penanganan covid-19 senilai US$18,9 juta atau Rp267,5 miliar.

Kementerian Pertahanan

Selain dua pihak swasta, importasi alat penanganan covid-19 juga dilakukan oleh pemerintah, salah satunya Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan. 

Pada September lalu, institusi di bawah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebenarnya telah masuk 10 terbesar importasi alat penangananan covid-19.

Dalam catatan Bisnis, pada 8 September lalu total importasi alat covid-19 yang diimpor Kemenhan hanya sebesar US$12,6 juta. Sementara data 18 Desember 2020, impor oleh Kemhan mencapai US$18,7 juta atau senilai Rp264,7 miliar (kurs 14.154 per dolar AS).

Bisnis telah mencoba menghubungi nomor Juru Bicara Menteri Pertahanan Dahnil Anhar Simanjuntak melalui pesan teks maupun sambungan telepon, namun yang bersangkutan belum menjawab pertanyaan dari Bisnis

Usut punya usut, dominasi swasta dalam importasi alat covid-19 bermula dari kelangkaan alat penanganan covid - 19 pada Maret 2020 lalu. Saat itu, alat penanganan covid-19 yang tersedia masih sangat terbatas.

Pemerintah kemudian berinisiatif untuk mempermudah impor sekaligus memberikan fasilitas fiskal atas importasi APD & barang penanganan covid - 19 lainnya seperti test kit & peralatan medis. Mekanismenya dengan menyusun Standard Operational Procedure (SOP) antara BNPB & Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).

Kebijakan yang mulai berlaku tanggal 20 Maret 2020 memberikan iming-iming pembebasan bea masuk maupun pajak impor untuk importir, instansi pemerintah atau Badan Layanan Umum (BLU), dan yayasan atau lembaga nonprofit (sosial keagamaan).

Selain fasilitas fiskal, kemudahan bagi importir ini juga diberikan dalam bentuk pelayanan. Importir cukup memperoleh rekomendasi dari BNPB untuk melakukan impor dan mendapatkan fasilitas fiskal.

Bisnis telah mencoba mengonfirmasi seputar mekanisme importasi alat covid-19 ke BNPB. Namun, Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati justru meminta Bisnis untuk mengonfirmasi ke Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19. Belakangan pihak Satgas Covid-19 mengaku tak tahu menahu soal importasi tersebut.

Sebelumnya, Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Ditjen Bea & Cukai Kemenkeu Syarif Hidayat mengatakan bahwa sesuai mekanisme yang diatur, dalam konteks importasi alat penanganan covid - 19, otoritas tak pernah memandang latar belakang perusahaan. 

"Ini dilakukan dalam konteks penanganan covid-19, selama dapat rekomendasi dari pihak BNPB [dapat impor alat penanganan covid-19], jadi tak terbatas pada perusahaan di bidang kesehatan," katanya belum lama ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper