Bisnis.com, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengaitkan pencopotan Kapolda Metro Jaya Nana Sudjana dengan pemilihan Kapolri yang berlangsung awal 2021.
Pencoptan Nana Sudjana dari jabatannya sebagai Kapolda Metro Jaya diduga terkait dengan kerumunan di acara Maulid Nabi Muhammad yang digelar Front Pembela Islam (FPI) dah petolannya Rizieq Shihab.
"Track record Kapolda Metro Jaya merupakan jalan untuk menjadi Kapolri. Sebagaimana terjadi pada dua Kapolri terakhir, yaitu Tito Karnavian dan Idham Azis," katanya melalui unggahan video di kanal YouTube miliknya Refly Harun, Selasa (17/11/2020).
Refly mmenyebutkan Tito Karnavian bahkan spektakuler ketika menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya. Pasalnya, tak lama setelah memimpin DKI Jakarta dia kemudian naik menjadi bintang 3 di Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT).
Seperti diketahui, Tito saat ini sudah meninggalkan jabatannya di kepolisian demi menjadi Menteri Dalam Negeri.
“Tiba-tiba hanya 1 atau 2 bulan di BNPT diangkat sebagai Kapolri, [kemudian] lompat. Sebelumnya yang berkuasa yang menjadi Kapolri [adalah] angkatan [tahun] 83 atau 84, langsung lompat ke angkatan 87," imbuhnya
Lebih lanjut, Refly mengatakan Kapolri Idham Azis sesungguhnya angkatan 87 juga. Dengan demikian, dia menilai terjadi pelambatan pada suksesi kepemipinan Polri 1.
Apalagi, Idham Aziz akan memasuki masa pensiun per Januari 2021. Berdasarkan kejadian ini, Refly mengaitkan kemungkinan akan ada Kapolri baru pada akhir 2020 dan bukan berasal dari Kapolda Metro Jaya.
"Bukan tidak mungkin Kapolda Metro Jaya bisa lompat lagi, tapi gejala tersebut memang belum terlihat atau tidak terlihat. Sekarang [Nana Sudjana] sudah tidak bisa lagi karena sudah dicopot jabatannya,” kata Refly.
Sementara itu, dia mengatakan pangkat dengan bintang 3 lainnya dengan beberapa nama sedang menunggu kesempatan menempati posisi Kapolri yang baru, termasuk kepala BNPT saat ini.
Bahkan, Refly turut mempertanyakan pihak mana yang berwenang soal penegakan protokol Covid-19, mulai dari pihak pemerintah pusat atau pemerintah daerah.
Jika yang berwenang adalah pemerintah pusat, maka dasar hukum yang digunakan Undang-Undang (UU), yaitu UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam UU tersebut disebutkan soal darurat kesehatan masyarakat dan tindakan-tindakan untuk pembatasan yaitu PSBB dan karantina, baik karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah.
“Keempat tindakan tersebut tidak diambil lagi saat ini tapi masih transisi saat ini. PSBB transisi yang dasarnya adalah Peraturan Gubernur. Kalau dasarnya Peraturan Gubernur, [maka] leading sector penegakan hukumnya pemerintah DKI dengan aparatnya Satpol PP,” sambungnya.
Refly melanjutkan, kalau pun ada polisi, maka sifatnya mungkin hanya perbantuan dan pembantuan.
Hal ini dikarenakan polisi menegakkan hukum dan hukum tersebut adalah hukum yang bersifat nasional bukan hukum yang bersifat lokal.
Padahal, dia mengatakan sifat polisi adalah rasional, jadi polisi tidak di bawah pemerintahan daerah.
"Itu masalahnya kalau polisi tidak berada di pemerintahan lokal, maka peraturan-peraturan daerah itu sesungguhnya bukan tugas polisi untuk menegakkannya tapi tugas aparat lain. Dalam hal ini Satpol PP,” pungkasnya.