Bisnis.com, JAKARTA - Presiden terpilih Amerika Serikat Joe Biden telah merencanakan sejumlah agenda pajak untuk direalisasikan setelah dilantik pada 20 Januari 2021.
Beberapa diantaranya yakni pajak korporasi yang naik dari 21 persen menjadi 28 persen dan pajak untuk mereka yang berpenghasilan di atas US$400.000 setahun naik dari 37 persen menjadi 39,6 persen.
Selain itu, pajak dari keuntungan modal untuk mereka yang berpenghasilan US$1 juta juga akan dilipatgandakan.
Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro mengungkapkan bahwa kebijakan yang agresif tersebut dapat menimbulkan rotasi lintas aset dari negara maju ke negara berkembang.
Hal itu berpeluang mempersempit kesenjangan aset di antara keduanya setelah selama beberapa tahun terakhir, pemotongan pajak, pembatalan regulasi, dan kebijakan ekonomi probisnis Presiden Donald Trump telah meningkatkan aset AS dan valuasinya dibandingkan dengan negara pasar berkembang.
"Kami pikir ini dapat menyebabkan penyempitan kesenjangan penilaian antara obligasi dan mata uang di emerging market dan developed market," katanya dalam laporan Bahana, Selasa (10/11/2020).
Baca Juga
Para presiden Partai Demokrat memang memiliki rekam jejak dalam mempromosikan kebijakan fiskal yang lebih hati-hati dan terdistribusi dengan baik. Menurut Satria, kebijakan itu mungkin berdampak negatif dalam jangka pendek, tetapi positif untuk perekonomian jangka panjang.
Namun, agenda pajak Biden kemungkinan akan terpinggirkan oleh urgensi penyelamatan ekonomi di tengah pandemi yang belum mereda. Setelah dilantik awal tahun depan, RUU mengenai stimulus kemungkinan akan diprioritaskan.
Mengenai stimulus fiskal baru, para ekonom berpendapat bahwa ada ketidakpastian jangka pandek sebelum pelantikan Biden. Pertama, karena kontestasi hasil Pemilu oleh Presiden Donald Trump.
"Tidak adanya skenario "sapuan biru" [blue sweep] di mana Partai Demokrat mengontrol senat dan kongres," katanya.