Bisnis.com, JAKARTA – Rahmat hanya warga biasa. Sebelumnya, tak pernah dia berpikir profesi penggali kubur akan membuatnya lebih sibuk dari seorang kepala daerah.
Kesibukan-kesibukan acap menghasilkan uang, dan uang-uang kerap berbuah kebahagiaan. Tetapi, bukan perasaan itu yang dialami laki-laki berusia 39 tahun tersebut.
“Menguburkan mereka prosesinya lebih singkat, tetapi justru itu yang membuat hati lebih tersayat. Apalagi mereka enggak didampingi banyak anggota keluarga seperti pemakaman jenazah pada umumnya,” kata Rahmat kepada Bisnis, Jumat (6/7/2020).
‘Mereka’ yang disinggung Rahmat adalah korban meninggal akibat virus SARS CoV-2 alias Covid-19. Sejak pandemi Covid-19 tiba ke Indonesia pada Maret 2020, sebagian lahan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, tempat Rahmat mencari nafkah disulap Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menjadi lahan pemakaman khusus jenazah korban pandemi.
Rahmat menjadi satu dari puluhan penggali kubur yang diberi mandat menyiapkan liang lahat untuk korban-korban yang hendak dikubur.
Terhitung hingga akhir Oktober 2020, sudah 2.000 lebih korban Covid-19 dimakamkan di lahan yang berlokasi di kawasan Cipayung, Jakarta Timur tersebut.
Dalam sehari Rahmat menyebut jumlah jenazah tidak pasti. Kadang tak sampai 10, kadang cuma belasan, kadang juga bisa sampai lebih dari 40 jenazah.
“Kami paling capek sekitaran bulan Agustus-September kemarin. Itu jumlah per harinya sering di atas 30, dan sempat juga di atas 40,” sambungnya.
Kondisi tersebut tak jarang membuat jam kerja para penggali kubur lebih panjang dari seharusnya. Tetapi, kuantitas bukanlah momok utama kekhawatiran Rahmat.
Pertemuan-pertemuan dengan jenazah dari beragam kalangan dan latar belakang yang justru membuatnya kerap mengalami pergulatan mental.
Pernah suatu hari Rahmat berhadapan dengan jenazah yang punya perawakan seperti ayahnya. Kondisi itu membuat Rahmat terbayang bagaimana keadaan kedua orang tuanya yang tinggal di kampung halaman.
“Kalau sudah seperti itu, langsung khawatir kondisi [keluarga] bagaimana. Sepulang dari lokasi saya video call keluarga di kampung. Sekarang aktivitas berkomunikasi dengan sanak saudara jadi rutin karena kami ingin saling menguatkan.”
Hal serupa dirasakan Nur (37). Sejak menjadi petugas penguburan jenazah Covid-19 di Jawa Tengah dalam beberapa bulan belakangan, dia telah bertemu berbagai momen emosional.
“Saya pernah membantu penguburan jenazah yang membuat saya terbayang anak saya. Kebetulan setahun terakhir dia merantau untuk kuliah ke kota lain. Ada juga yang postur perawakannya bikin saya jadi ingat sahabat lama,” tutur dia.
Pertemuan-pertemuan semacam itulah yang kemudian bikin para petugas penggali kubur seperti Rahmat dan Nur lebih sering memanfaatkan teknologi, dalam konteks ini adalah jaringan internet sebagai obat.
“Paling kalau sudah seperti itu sepulang kerja berusaha kontak mereka [anak dan teman]. Kadang video call, pakai Whatsapp, atau telepon.”
Sukar dimungkiri betapa internet telah menjadi sarana yang membantu para petugas makam, mereka yang bersinggungan langsung dengan jenazah, untuk bisa lepas dari beban batin di tengah pandemi. Dan, petugas-petugas makam tersebut tidak sendirian.
Kesadaran memandang teknologi dan internet sebagai kebutuhan yang kian penting di tengah pandemi juga dirasakan Najwa (31), seorang tenaga kesehatan di Rumah Sakit Mitra Keluarga.
Kewajiban menjadi ujung tombak penanganan pandemi Covid-19 membuat Najwa semakin jarang meluangkan waktu bersama suami dan anaknya. Internet akhirnya jadi jalan keluar untuk memutus jarak.
“Pandemi membuat saya lebih jarang pulang ke rumah karena takut membawa virus. Kalaupun pas bisa pulang, biasanya sudah capek dan waktunya anak-anak tidur. Jadi interaksi memang lebih banyak mengandalkan video call atau chat. Itu hampir setiap hari,” tuturnya kepada Bisnis.
Tingginya kebutuhan internet sebagai sarana penting para ujung tombak penanganan pandemi COVID-19 turut diamini data statistik.
Survei Alvara Research Center yang rilis pada pertengahan Juli 2020 menunjukkan bahwa pengeluaran belanja warga Indonesia atas kebutuhan internet pada semester I/2020 mencapai 8,1 persen. Angka ini naik relatif tajam dibandingkan catatan rata-rata tahun lalu yang mentok di angka 6,1 persen.
Kecenderungan kenaikan per kebutuhan pun tampak tidak kalah mencolok. Sejak munculnya pandemi Covid-19, kebutuhan data untuk pertukaran pesan rata-rata naik 86,5 persen, belanja data untuk berselancar di dunia maya naik 80,5 persen, dan belanja untuk mengakses media sosial meningkat 70,3 persen.
Adapun untuk keperluan menonton video dan berkirim email, kenaikan belanja internet rata-rata orang Indonesia berkisar 55,0 persen dan 53,5 persen.
“Sementara untuk waktu pemakaian, rata-rata peak [puncak penggunaan] ada di sekitar pukul 20.00 WIB,” kata Direktur Utama Alavara Research Hasanuddin Ali dalam paparannya dalam diskusi daring Minggu (12/7/2020).
Dalam keterangan terpisah, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) melaporkan bahwa mereka tengah menyikapi kondisi tersebut. Menkominfo Johny Gerard Plate lantas mamaparkan salah satu upaya yang ditempuh adalah mempergencar penyediaan akses internet ke seluruh lapisan masyarakat.
Bicara spesifik soal fasilitas kesehatan (faskes), tempat para ujung tombak pandemi berkutat dengan tugasnya, Johny berkata saat ini masih ada sekitar 13.000 lokasi yang belum memiliki fasilitas koneksi internet nirkabel alias wi-fi.
Kominfo akan mengatasi permasalahan ini dengan penyediaan wi-fi di 2.900 faskes pada kuartal IV/2020, disusul sisa 10.100 lain pada 2021.
“Dengan demikian tahun 2021 di kuartal kedua seluruh puskesmas di Indonesia akan terlayani oleh 4G. Ini masih infrastrukturnya belum aspek-aspek lainnya dalam rangka transformasi digital,” sambung Johny dalam siaran pers, Senin (30/10/2020).
Intervensi program juga dilakukan khusus di daerah-daerah blankspot alias daerah yang belum terjamah internet sama sekali. Sampai saat ini ada 7.700 lebih titik pelayanan publik yang diintervensi Kominfo tanpa melalui BTS, melainkan langsung ke satelit.
Baca Juga : Kehalalan Vaksin : Wapres Tunggu Fatwa MUI |
---|
Penambahan-penambahan akses di titik terpencil ini diharapkan Johny bisa menjadi secercah oase. Mereka berharap upaya ini akan membantu masyarakat di kawasan terpencil tetap terhubung dengan sanak saudara mereka di lokasi yang lebih jauh. Meskipun, Johny sendiri mengakui bahwa pekerjaan rumah pemerintah masih banyak.
Bila mengacu data Statista, jumlah pengakses internet di Indonesia memang yang paling tinggi di Asia Tenggara. Namun, bila angkanya dihitung secara proporsional dengan jumlah penduduk, ketersediaan internet di negeri ini masih tergolong rendah.
Penetrasi internet Indonesia mentok di 62,6 persen. Catatan tersebut membuat Indonesia berada di peringkat 7 dari 11 negara Asia Tenggara, kalah jauh dari Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina bahkan Vietnam.
Data: Penetrasi Internet di Asia Tenggara hingga Mei 2020
Peringkat | Negara | Persentase penduduk yang sudah punya akses internet |
1 | Brunei Darussalam | 95,3 persen |
2 | Singapura | 88,4 persen |
3 | Thailand | 81,7 persen |
4 | Malaysia | 81,4 persen |
5 | Filipina | 72,1 persen |
6 | Vietnam | 70,4 persen |
7 | Indonesia | 62,6 persen |
8 | Kamboja | 47,9 persen |
9 | Laos | 42,0 persen |
10 | Myanmar | 40,8 persen |
11 | Timor Leste | 31,1 persen |
(Sumber: Statista)
Tantangan yang dihadapi Kominfo untuk turut bergandengan tangan dengan masyarakat di tengah pandemi memang tak mudah. Selain perkara ketersediaan akses internet, masalah kualitas jaringan juga jadi soal lain.
Perkara kecepatan internet tidak saja perlu dioptimalkan dalam rangka pemenuhan kebutuhan di tengah pandemi, tetapi juga untuk memaksimalkan kecepatan pemulihan dari berbagai krisis. Terutama untuk menyesuaikan misi digitalisasi yang diwacanakan Presiden Joko Widodo.
Sebagai catatan, berdasarkan riset yang dirilis Hootsuite pada Januari 2020, kecepatan Internet rata-rata di Indonesia masih berkutat di kisaran 20,1 Megabit per detik (Mbps). Angka ini berada di bawah rata-rata kecepatan angka dunia yang berkisar 73,6 Mbps.
Dalam proyeksi jangka panjang, penguatan pembangunan Information and Communication Technology (ICT) merupakan salah satu aspek yang hendak digenjot presiden Joko Widodo. Komitmen ini ditegaskan Jokowi saat mengadakan diskusi dengan para pemimpin redaksi di Istana Bogor, 31 Agustus 2020.
“Oleh karena itu, pemerintah mengalokasikan dana Rp80 triliun untuk mengakselerasi pembangunan ICT," kata Jokowi.
Dari jumlah anggaran yang dia sebutkan, Jokowi menambahkan bahwa alokasi tahap pertama akan dikucurkan tahun depan dengan porsi Rp30 triliun.
Peneliti Center for Indonesian Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan bahwa strategi bangkit dari pandemi dengan cara mengedepankan pengembangan internet dan digitalisasi adalah langkah yang masuk akal. Manuver ini, kata dia, juga akan seirama dengan target pemerintah meraup keuntungan besar saat terjadinya bonus demografi di Indonesia pada rentang 2030-2040.
“Dan juga dengan pemanfaatan teknologi digital, masyarakat akan punya kesempatan yang sama dengan pelaku usaha besar, termasuk perusahaan global, untuk menjual produk mereka,” sambungnya.
Kini patut dinanti bagaimana realisasi target pemerintah, serta kolaborasinya dengan masyarakat untuk membangkitkan Indonesia dari suasana murung akibat pandemi Covid-19.