Bisnis.com, JAKARTA - Hassan Rouhani, Presiden Iran, mengaku tak mau ambil pusing dengan hasil pemilihan umum di Amerika Serikat yang tengah menyajikan persaingan ketat sang petahana Donald Trump dan penantangnya, Joe Biden.
Menurutnya, dia tidak peduli tentang siapa yang akan menjadi presiden AS, tetapi menunggu kebijakan masa mendatang negara itu agar patuh pada hukum dan perjanjian internasional.
"Bagi Iran, kebijakan pemerintahan AS yang berikutnya adalah hal yang penting-bukan soal siapa yang memenangkan pemilu di AS. Kami ingin dihargai, bukan menjadi sasaran sanksi (oleh AS). Tidak masalah siapa yang memenangkan pemilu AS, [...] untuk kami, kebijakan dan prinsip adalah hal yang penting," kata Rouhani dalam rapat kabinet yang disiarkan di televisi.
Di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, pada 2018 AS keluar dari perjanjian nuklir Iran 2015 serta menjatuhkan sanksi yang memberatkan kondisi perekonomian Iran. Sebagai balasan, Iran secara bertahap mengurangi kepatuhannya terhadap perjanjian itu.
Sementara Joe Biden, rival Trump pada pemilu presiden kali ini, berjanji untuk bergabung kembali dengan enam negara kekuatan dunia dalam perjanjian nuklir tersebut jika Iran juga kembali mematuhinya.
Di sisi lain, Trump juga menyebut bahwa ia ingin melancarkan perjanjian baru dengan Iran yang akan menyasar program rudal negara itu dan mendukung proksi kawasan, yakni di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman.
Baca Juga
Bagaimanapun Iran tidak bersedia melakukan negosiasi apapun terkait hal itu, kecuali AS terlebih dahulu masuk kembali dalam kesepakatan nuklir awal.
Sebelumnya, Aljazeera melaporkan bahwa AS telah menyita sejumlah rudal Iran tujuan Yaman setelah sebelumnya menjual 1,1 juta barel minyak Iran tujuan Venezuela yang merupakan hasil sitaan.
Pengumuman itu disampaikan oleh Departemen Kehakiman AS saat Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan. AS mengumumkan sanksi terhadap 11 perusahaan dan individu yang terlibat dalam penjualan dan pembelian produk petrokimia Iran.
Lima hari menjelang pemilihan presiden AS pada 3 November, pemerintahan Presiden Donald Trump memperkuat sanksi yang ditujukan untuk mengisolasi Iran dari ekonomi global. Pengumuman itu juga muncul di tengah tuduhan komunitas intelijen AS bahwa peretas Iran berusaha mengancam pemilih AS dengan email palsu.
Sanksi tersebut umumnya membekukan aset AS yang mungkin dimiliki perusahaan dan individu warga Amerika Serikat kalau melakukan bisnis dengan Iran.