Bisnis.com, JAKARTA – Tiga hari setelah Amerika Serikat mengumumkan memberikan fasilitas keringanan bea masuk (Generalized System of Preferences/GSP) kepada Indonesia, Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara.
Pada sidang kabinet paripurna Senin (2/11/2020), Jokowi membanggakan fasilitas keringanan bea masuk yang diberikan pemerintahan Presiden Donald Trump di tengah lesu darah pertumbuhan ekonomi dan anjloknya investasi.
"Kita adalah satu-satunya negara di Asia yang mendapatkan fasilitas ini dan kita harapkan ekspor kita akan bisa naik, melompat karena fasilitas GSP diberikan kepada kita," kata Jokowi saat membuka sidang kabinet paripurna.
Berdasarkan catatan Bisnis, negara di kawasan yang baru saja dicabut fasilitas GSP adalah India dan Turki. Perang dagang dan membengkaknya defisit neraca pembayaran membuat Amerika mencabut fasilitas tersebut.
GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh pemerintah AS kepada negara berkembang di dunia sejak 1974. Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada 1980.
Dalam 2,5 tahun terakhir, fasilitas GSP Indonesia sempat dievaluasi Amerika. Bahkan terancam dicabut. Pasalnya, pemerintahan Trump merasa terusik dengan kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang mewajibkan transaksi pembayaran harus di proses di dalam negeri.
Kebijakan itu dinilai merugikan bisnis Visa dan Mastercard, karena kebijakan data center yang mewajibkan server berada di Tanah Air. Belum lagi soal peraturan yang mewajibkan perusahaan lokal atau berbentuk perseroan terbatas yang boleh menikmati kue dari transaksi switching.
Transaksi switching adalah proses settlement antarbank saat nasabah belanja di merchant, baik berupa kartu kredit atau kartu debit. Dalam setiap transaksi ini, Visa dan Mastercard mengenakan biaya sekitar 0,80% dan 0,85%.
Namun, apabila satu kartu ada dua logo tersebut secara bersamaan, biaya yang harus dibayarkan sebesar 1,65%. Oleh sebab itu, BI menggagas GPN sebagai sistem switching antarbank dan dijalankan oleh perusahaan switching lokal.
Dengan menggunakan kartu berlogo GPN biaya yang dikenakan hanya 1%. Selisih biaya ini dinilai menguntungkan bagi nasabah atau konsumen. Bank juga diuntungkan karena biaya yang dibebankan perusahaan switching lokal lebih murah.
Namun, karena ada resistensi dari Amerika, kebijakan yang dirilis Bank Indonesia pada 2018 itu melunak. BI membolehkan perusahaan switching asing menempatkan pusat data di luar negeri dan tetap berbadan hukum asing asalkan ada kerja sama dengan mitra lokal.
Semangat dari aturan itu sendiri sejatinya untuk mengurangi defisit transaksi pembayaran. Pasalnya, setiap tahun ditaksir sedikitnya duit US$2 miliar dipetik dari komisi transaksi switching tersebut, dan menjadi capital outflow.
Nilai ini tentunya tidak beda jauh jika dibandingkan dengan fasilitas GSP yang digunakan oleh eksportir Indonesia. Pada 2019, ekspor Indonesia dengan fasilitas GSP, nilainya mencapai US$2,61 miliar atau setara dengan 13,1% dari keseluruhan ekspor Indonesia ke AS yang berjumlah US$20,1 miliar.
Sementara itu, untuk periode Januari-Agustus 2020, nilainya mencapai US$1,87 miliar atau naik 10,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Namun, nilai produk yang mendapatkan fasilitas GSP itu adalah kumulatif barang ekspor. Diskon dari tarif itu tentu lebih rendah dari tiap-tiap nomor HS (harmonized system) barang yang diekspor.
Indonesia mencatatkan 3.572 pos tarif yang telah diklasifikasikan masuk skema GSP yang terdiri dari produk manufaktur dan semi manufaktur, pertanian, perikanan dan industri primer. Namun, produk yang menikmati pembebasan GSP kurang dari 1.000 pos tarif.
Memang fasilitas GSP ini menguntungkan bagi eksportir Indonesia karena mampu bersaing dengan produk negara lain. Harga produk ekspor Indonesia lebih murah dari negra lain.
Namun, apabila tidak dimanfaatkan maksimal, gimmick ini menjadi sia-sia karena capital outflow Indonesia lebih besar dari komisi yang dipetik perusahaan switching tadi.
Satu sisi, dari muhibah pejabat Amerika ke Indonesia belakangan ini, pemerintahan Jokowi juga mendapatkan berkah fasilitas pinjaman. Kredit lunak untuk kegiatan ekspor dan investasi itu nilainya mencapai US$750 juta atau setara Rp11,02 triliun.
Selain itu, US International Development Finance Corporation (IDFC), lembaga pengelola investasi (sovereign wealth fund) yang fokus memberikan pembiayaan proyek infrastruktur AS, mengaku berkomitmen untuk investasi di Indonesia. Kabarnya nilainya mencapai US$10 miliar.
Belum lagi komitmen kerja sama pertahanan yang akan dilakukan saat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berkujung ke Amerika beberapa waktu lalu. Memang bentuk kerja sama pertahanan ini belum konkret diungkap ke publik.
Sempat berembus kabar mengenai Amerika akan membangun pangkalan militer di Natuna guna menangkal kekuatan militer China. Namun, kabar ini ditepis oleh Kemenlu RI.
Dari muhibah Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, di tengah pandemi memang masih menyisakan sejumlah tanda tanya. Selain bersuara keras soal hegemoni komunis China di Asia Tenggara, kunjungan jelang Pilpres AS ini sebenarnya ada simbiosis apa antara Jokowi dan Trump?