Era Trump Berakhir?
Terpilihnya Donald Trump pada tahun 2016 seakan-akan berada di puncak gelombang populis melalui politik global. Awal tahun yang sama, Inggris Raya memilih untuk meninggalkan Uni Eropa (UE) setelah bertahun-tahun meragukan persekutuan negara itu.
Anti-imigrasi dan retorika populis dari Partai Kebebasan Inggris (UKIP) menunjukkan hal itu selain pers Inggris yang sering mengangkat isu anti-Uni Eropa, termasuk di antaranya "berita palsu".
Seperti orang Inggris yang berharap meninggalkan UE akan memberdayakan mereka dan meningkatkan lapangan pekerjaan, di AS juga terjadi hal yang sama. “Make America Great Again” adalah seruan untuk memprovokasi banyak orang di pedesaan yang merasa dilupakan oleh koridor kekuasaan elit metropolitan.
Empat tahun setelah pemilihan Trump, dan di tengah ikritik tajam terhadap penanganan pandemi Covid-19 dan kemerosotan ekonomi, prospek Trump dalam pemilu menjadi lemah dibandingkan pesaingnya, Joe Biden. Faktanya, capres dari Partai Demokrat itu unggul dalam jajak pendapat terbaru.
Keunggulan Biden atas Trump telah mencapai 10 poin dalam rata-rata jajak pendapat nasional terbaru. Pasalnya, Trump terlalu fokus pada dukungan di kalangan senior, namun menghadapi pembelotan luas di antara lulusan perguruan tinggi kulit putih, terutama wanita.
Tidak hanya itu, dengan dipilihnya wanita kulit berwarna, Kamala Haris sebagai calon wakil presiden Joe Biden maka diperkirakan dukungan dari kelompok pemilih kulit hitam akan kian menguat untuk menekuk kekuatan Trump.