Bisnis.com, JAKARTA - Organisasi mahasiswa sepakat menolak pengesaha RUU Cipta Kerja. Penolakan tersebut akan dilanjutkan dengan mengajukan uji materi regulasi tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Arjuna Putra Aldino menyebut pihaknya akan menempuh langkah hukum dengan mengajukan Judicial Review UU Cipta Kerja ke MK.
“DPP GMNI akan menempuh langkah hukum dengan mengajukan judical review ke Mahkamah Konstitusi setelah mengawalinya dengan aksi demonstrasi bersama-sama dengan elemen buruh,” katanya melalui keterangan resmi, Senin (12/10/2020).
Dia menuturkan, organisasi mahasiswa memiliki sejumlah alasan penolakan aturan Cipta Kerja. Beleid dinilai menimbulkan kerusakan lingkungan karena tak ada sanksi tegas bagi korporasi yang merusak lingkungan.
Selain itu, Pengaturan soal pertambangan yang membuka peluang terjadinya kongkalikong antara pengusaha tambang dengan pembuat kebijakan. Meski ditujukan untuk menarik minat investor, RUU Cipta Kerja diyakini akan merampas hak-hak masyarakat.
“Mengundang investasi silakan, tapi tidak boleh merusak alam dan merugikan masyarakat,” ujarnya.
Baca Juga
Komitmen tersebut juga disepakati bersama Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), hingga Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).
Ada beberapa poin-poin yang jadi alasan penolakan. Di antaranya, soal adanya bank tanah dalam pasal 127 UU Cipta Kerja. Regulasi ini dinilai memperparah ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.
Kemudian, soal tak adanya sanksi pidana bagi korporasi. Aturan ini disinyalir menjadi ancaman terhadap kelestarian lingkungan.
Sebelumnya, sejumlah organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama juga akan melakukan gugatan uji materi terhadap RUU Cipta Kerja. Meski Menteri Ketenagakerjaan telah bersilaturahmi dengan Ketua Umu PBNU Said Aqil Siraj, ormas itu tetap akan melakukan judicial review.
Sejumlah masalah diutarakan seperti proses yang terlalu terburu-buru, dibukanya semua sektor menjadi lapangan komersial termasuk bidang pendidikan, pemberlakuan pasar tenaga kerja fleksibel dengan Perluasan sistem pekerja kontrak waktu tertentu (PKWT).
Kemudian, pasal 39 yang menganakemaskan sektor ekstraktif dengan insentif dan diskresi kepada pelaku usaha tambang, diperlebarnya karpet Merah bagi pelaku usaha dan mengabaikan dimensi konservasi.
PBNU juga menyoroti potensi timbulnya kapitalisme pangan dan memperluas ruang perburuan rente bagi para importir pangan pada pasal 64 Cipta Kerja. Terakhir adalah adanya pengokohan pemusatan dan monopoli fatwa kepada satu lembaga serta diabaikannya mekanisme penyediaan pangan secara luas.