Bisnis.com, JAKARTA - Telah lama RUU Cipta Kerja menjadi polemik di masyarakat. Suara protes semakin keras setelah DPR mengesahkannya menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
Kementerian Sekretariat Negara dalam sebuah unggahan melalui media sosial Twitter berupaya memberikan penjelasan, khususnya mengenai pasal-pasal krusial di klaster keternagakerjaan.
Hal pertama adalah mengenai upah minimum. Kementsegneg dalam penjelasannya yang mengutip Kementerian Perekonomian menyebutkan bahwa upah minimum tidak turun.
UU Cipta Kerja juga melarang pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Kemudian besar upah merupakan kesepatakan antara pengusaha dengan pekerja. Gubernur dalam hal itu, menjadi penentu upah minimum.
“Kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi daerah,” demikiang mengutip unggahan tersebut, Rabu (7/10/2020).
Baca Juga
UU Cipta Kerja juga mengatur upah bagi usaha mikro dan kecil (UMK). Ada dua poin yang disebutkan oleh akun Twitter @KemensetnegRI.
Pertama, upah UMK ditetapkan berdasarkan kesepakatan pengusaha dengan pekerja. Sedikitnya pemilik usaha memberikan upah dengan persentase tertentu dari konsumsi masyarakat.
Poin selanjutnya adalah hal yang juga menjadi sorotan masyarakat, yaitu waktu istirahat dan cuti. Kemensetneg menyatakan bahwa waktu istirahat dan cuti tidak dihapuskan.
Istirahat panjang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Protes terkait pengesahan UU Cipta Kerja terjadi di sejumlah daerah. Demonstrasi berujung kericuhan terjadi di Bandung, Jawa Barat.
Di dunia maya, para pemuka agama mengajukan petisi dalam jaringan menolak UU Cipta Kerja dan membuka ruang partisipasi publik.
Dalam dua hari, petisi tersebut telah mendapatkan 1,33 juta tanda tangan.