Bisnis.com, JAKARTA – Pinangki Sirna Malasari telah selesai membacakan nota keberatan alias eksepsi Pinangki atas dakwaanya pada Rabu (30/9/2020) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat.
Dalam eksepsi yang dibacakan kuasa hukumnya itu, dia mengaku tidak pernah menyebut nama Jaksa Agung ST Burhanudin dan eks Mantan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali terkait dalam skandal perkara Djoko Soegiarto Tjandra.
Diketahui, dalam surat dakwaan, Pinangki disebut memasukan pejabat Mahkamah Agung Hatta Ali dan Pejabat Kejaksaan Agung Burhanudin dalam action plan alias rencana aksi permintaan fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk Terpidana kasus Cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra
“Perihal nama Bapak Hatta Ali (Mantan Ketua Mahkamah Agung) dan Bapak ST Burhanudin (Jaksa Agung RI) yang ikut dikait-kaitkan namanya belakangan ini dalam permasalahan hukum terdakwa, sama sekali tidak ada hubungannya dan terdakwa tidak pernah menyebut nama beliau, dalam proses penyidikan dan penuntutan perkara Terdakwa,” ujar Pinangki dalam eksepsi yang dibacakan kuasa hukumnya, Rabu (30/9/2020).
Di eksepsinya itu, dia mengaku tidak memiliki hubungan dengan dua nama tersebut. Pinangki mengaku hanya mengetahui Hatta Ali sebagai Mantan Ketua Mahkamah Agung.
Dia pun mengaku bahwa dirinya tidak mengenal secara personal dan tidak pernah berkomunikasi dengan Hatta Ali.
Baca Juga
Selain itu Pinangki juga mengaku hanya tahu ST Burhanudin sebagai atasan atau Jaksa Agung di institusi tempatnya bekerja.
“Namun tidak kenal dan tidak pernah berkomunikasi dengan beliau,” ujarnya.
Dalam eksepsinya itu, Pinangki mengatakan bahwa penyebutan nama-nama tersebut bukan didasarkan oleh pernyataannya. Dia menjelaskan ada orang yang ingin menyalahkan dirinya sehingga, seolah-olah mencatut nama-nama tersebut.
“Dapat kami sampaikan dalam momen ini, penyebutan nama pihak-pihak terebut bukanlah atas pernyataan terdakwa dalam proses penyidikan, namun karena ada orang-orang yang sengaja mau mempersalahkan terdakwa, seolah-olah dari terdakwa-lah yang telah menyebut nama pihak-pihak tersebut," kata kuasa hukum saat membacakan eksepsi Pinangki.
Selain itu, kuasa hukum juga mengatakan bahwa terdakwa sejak awal dalam penyidikan menyampaikan tidak mau menimbulkan fitnah bagi pihak-pihak yang namanya selalu dikait-kaitkan dengan terdakwa.
Dalam eksepsinya yang dibacakan kuasa hukumnya itu, disebutkan bahwa terdapat pihak-pihak yang sengaja menggunakan kasus ini untuk kepentingan tertentu. Khususnya, lanjut dia, kepada nama-nama yang disebutkan dalam action plan.
Dia pun khawatir perkara yang membelitnya ini dijadikan alat untuk menjatuhkan kredibilitas pihak-pihak lain.
Selain itu, Pinangki didakwa dengan tindakan permufakatan jahat sebagaimana termuat dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam eksepsinya, Pinangki menyebut bahwa dakwaan itu sangat dipaksakan oleh penuntut umum dan penyidik saat proses penyidikan.
Pasalnya, seandainya benar, Pinangki membantu Djoko Sugiarto Tjandra untuk mengurus Fatwa Mahkamah Agung (MA) sehubungan dengan Putusan PK No.12/2009 agar Djoko tidak dapat dieksekusi, namun disebutkan bahwa action plan itu tidak dieksekusi.
“Karena Djoko Sugiarto Tjandra telah menyatakan Action Plan proses fatwa tersebut tidak masuk akal dan memilih untuk menempuh jalur Pengajuan Peninjauan Kembali melalui pengacara Anita Kolopaking,” seperti dalam eksepsi Pinangki.
Seperti diketahui, dalam permufakatan jahat yang dituduhkan kepada Pinangki terdapat action plan yang didalamnya terdapat kode nama-nama orang lain.
Padahal menurut kuasa hukum yang membacakan eksepsi itu, Pinangki bukanlah yang membuat action plan itu, apalagi menyebutkan nama-nama di dalamnya.
“Sejak awal pemeriksaan di penyidikan terdakwa tidak mau berspekulasi dengan nama-nama yang ada dalam action plan karena memang tidak tahu dari mana asal action plan tersebut apalagi isi di dalamnya. Sehingga menjadi pertanyaan besar kenapa Terdakwa masih didakwa dengan suatu hal yang nyata-nyata nya tidak terjadi,” bunyi eksepsi Pinangki.
Sebelumnya, Pinangki Sirna Malasari disebut memasukkan pejabat Mahkamah Agung Hatta Ali dan Pejabat Kejaksaan Agung Burhanudin dalam action plan alias rencana aksi permintaan fatwa Mahkamag Agung (MA) untuk Terpidana kasus Cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra.
Action plan itu sendiri diserahkan ke Djoko Tjandra saat Pinangki, Andi Irfan Jaya, dan Anita Kolopaking bertemu di The Exchange 106, Kuala Lumpur Malaysia, November 2019 lalu.
Dalam pertemuan itu Pinangki dan Andi Irfan Jaya menyerahkan dan menjelaskan action plan Djoko Tjandra untuk mengurus kepulangan dengan menggunakan sarana fatwa MA melalui Kejagung.
Penerimaan Uang
Sebelumnya, Pinangki juga membantah menerima uang suap US$500.000 dari Djoko Tjandra untuk pengurusan Fatwa Mahkamah Agung (MA).
Pinangki mengaku mendapatkan harta peninggalan dari almarhum suaminya. Harta itulah yang digunakan untuk menunjang gaya hidupnya.
Hal itu disampaikan tim kuasa hukum Pinangki saat membacakan nota pembelaan atau eksepsi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (30/9/2020). Eksepsi itu dibacakan bergantian, antara Aldres Napitupulu dan Jefri Moses.
"Dalam kesempatan ini kami sedikit menyampaikan mengenai profil terdakwa agar diketahui dan menjadi pertimbangan awal dari Majelis Hakim, hal ini sengaja terdakwa sampaikan di persidangan ini sekaligus menjawab pertanyaan yang juga sering dilontarkan di media perihal gaya hidup yang dianggap berkelebihan dan tidak sesuai profil sebagai jaksa," kata kuasa hukum.
Pinangki secara resmi menikahi Djoko Budiharjo pada 2006. Djoko sudah berstatus duda selama dua tahun saat menikah dengan Pinangki.
"Namun pernikahan antara terdakwa dan suaminya ini berakhir dengan meninggalnya Djoko Budiharjo pada Februari 2014," imbuhnya.
Selama hidupnya, Djoko pernah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau, Kajati Sulawesi Tenggara, Kajati Jawa Barat, terakhir sebagai Sesjamwas. Setelah pensiun, Djoko beralih profesi menjadi advokat.
Pinangki mengetahui suaminya menyimpan uang dalam bentuk Bank notes mata uang asing saat suaminya berprofesi sebagai advokat.
Hal itu merupakan bentuk warisan kepada Pinangki untuk kelangsungan hidup lantaran Djoko menyadari tidak akan bisa mendampingi istrinya yang terpaut beda usia 41 tahun.
"Sehingga almarhum pun menyiapkan banyak tabungan tersebut," kata dia.
Setelah Djoko meninggal, Pinangki pun menikah dengan perwira Polri, Napitupulu Yogi Yusuf. Mengingat peninggalan Djoko yang cukup banyak itu, dalam pernikahan keduanya, Pinangki membuat Perjanjian Pisah Harta dengan Napitupulu Yogi Yusuf.
Aldres menjelaskan, pemaparan riwayat Djoko untuk memberikan pencerahan terkait sumber pendapatan Pinangki.
Pasalnya, jaksa penuntut umum mendakwa Pinangki membelanjakan uang untuk mengaburkan asal-usul duit haram hasil suap dari Djoko Tjandra.